Madrasah Aliyah Nurussyahid (MANUSA) adalah Sekolah Menengah Atas Setingkat SMA/SMK, Yang berdiri 2013 dengan Unggulan Magang dan Mahir Bahasa Jepang


Niat yang baik akan menghasilkan prasangka yang baik, Prasangka yang baik akan menghasilkan Aqidah yang baik dan Aqidah yang baik akan menghasilkan Akhir yang baik (Khusnul Khotimah). Hidup ini adalah Perjuangan, perjuangan perlu pengorbanan, pengorbanan perlu kecintaan, kecintaan perlu kesungguhan dalam Do'a dan Ikhtiar yang seimbang. kecintaan perlu keikhlasan dan keikhlasan perlu kesabaran, maka Allah berfirman Jadikan Sabar dan Sholat sebagai penolongmu melalui petunjuk sang Guru Mursyid.

2019/06/29

METODE DAKWAH ISLAM DAN PERANAN PENTING KANJENG SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON DI JAWA BARAT


METODE  DAKWAH ISLAM DAN PERANAN PENTING KANJENG SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON  
DI JAWA BARAT

A.   Pendahuluan
          Masuknya agama Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu bersamaan.Pada abad ke-7 sampai ke-10 kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Malaka dan Kedah.Hingga sampai akhir abad ke-12 perekonomian Sriwijaya mulai melemah. Keadaan seperti ini dimanfaatkan Malaka untuk melepaskan diri dari Sriwijaya hingga beberapa abad kemudian Islam masuk ke berbagai wilayah Nusantara, dan pada abad ke-11 Islam sudah masuk di pulau Jawa.
          Pada abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid pertama di tanah Jawa. Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai peran besar dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa.Walisongo berasal dari keturunan syeikh ahmad bin isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian bagi para keturunan nabi dari arab saudi dan daerah arab lain yang tidak menganut syiah.[1]
              Penyebaran agama Islam di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan masa peralihan kehidupan agama, politik, dan seni budaya.Di kalangan penganut agama Islam tingkat atas ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali. Istilah Wali diartikan sebagai “orang suci”, sementara istilah “sunan” berasal dari bahasa jawa “suhun” yang artinya dihormati atau disembah. Dengan demikian, sunan merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang suci atau keramat yaitu para wali dan juga diberikan kepada para raja Islam di Jawa di samping gelar Sultan. Para wali itu dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Walisanga”, yang merupakan lanjutan konsep pantheon dewa Hindhu yang jumlahnya juga Sembilan orang. Adapun Sembilan orang wali yang dikelompokkan sebagai pemangku kekuasaan pemerintah yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.[2] Dalam makalah ini akan membahas tentang “peran sunan gunung jati dalam proses penyebaran islam di Jawa” yang kajiannya mencakup pada biografi, proses dan cara penyebarannya, dan pengaruhnya.

Biografi Sunan Gunung Jati
          Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu-satunya Wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa barat. Sunan Gunung Jati dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain. Sedangkan Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.
Pada masa remajanya Sunan Gunung jati berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf.[3]
Padausia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu. Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama  ibunya (Nyi Mas Rarasantang atau Ibunda Syarifah Mudaim) disambut  gembira oleh pangeran Cakra Buana ( Pangeran Walang Sungsang).  Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakra Buana dan keluarganya. Syarifah  Mada’in minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif  gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudaga rdari Arab dan Gujarat yang seringsinggah ketempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putrid Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.[4]
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.[5]

Proses dan Cara Penyebaran Islam Sunan Gunung Jati
          Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati di Cirebon dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.Pada era Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati dapat dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon. Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah.[6]
          Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Sunan Gunung Jati yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Sunan Gunung Jati. Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kesultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon.[7]
          Sebagai anggota Wali Songo dalam berdakwahnya Sunan Gunung Jati menerapkan berbagai metode dalam proses islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam metode dakwahnya menurut Dadan Wildan (2003) adalah sebagai berikut :
1.    Metode “maw’izhatul hasanah wa mujahadalah bilati hiya ahsan”. Dasar metode ini merujuk pada Al-qur’an surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “Seluruh manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
2.    Metode “Al-Hikmah” sebagai sistem dan cara berdakwah para wali yang merupakan jalan kebijaksanaan yang diselanggarakan secara populer, atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara masal, kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum.
3. Metode “Tadarruj”atau“Tarbiyatul Ummah”, dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata. Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat, bakat. Materi dan kurikulumnya, tradisi ini masih tetap dipraktekan dilingkungan pesantren.
4.  Metode pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama sekali kosong dari pengaruh Islam.
5.  Metode kerjasama,  dalam hal ini diadakan pembagian tugas masing-masing para wali dalam mengislamkan masyarakat tanah Jawa. Misalnya Sunan Gunung Jati bertugas menciptakan doa mantra untuk pengobatan lahir batin, menciptakan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan, transmigrasi atau pembangunan masyarakat desa.
6.  Metode musyawarah, para Wali sering berjumpa dan bermusyawarah membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan perjuangan mereka. Semetara dalam pemilihan wilayah dakwahnya tidaklah sembarangan dengan mempertimbangkan faktor geogstrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya.
Sunan Gunung Jati sendiri dilingkungan masyarakatnya selain sebagai pendakwah, juga berperan sebagai politikus, pemimpin dan juga berperan sebagai budayawan. Pemilihan Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwahnya Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalur perdagangan, demikian juga telah dipertimbangkan dari aspek sosial, politik, ekonomi, nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.[8]

Pengaruh Sunan Gunung Jati di Jawa
          Sebagaimana disebut di awal pembahasan, setiap Sunan dalam Wali Songo mempunyai tugas masing-masing. Seperti disebutkan Sunyoto, tugas tokoh-tokoh Wali Songo dalam mengubah dan menyesuaikan tatanan nilai dan system social budaya masyarakat, sebagai berikut:
ØSunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk masyarakat Jawa. Raja Pandhita di Gresik merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda. Susuhunan Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan, lauk pauk, memperbarui alat-alat pertanian, membuat gerabah. Syarif Hidayatullah di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca mantera, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan. Sunan Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu, menyesuaikan siklus pawukon, juga merintis pembukaan jalan. Sunan Bonang mengajar ilmi suluk, membuat gamelan, menggubah irama gamelan. Sunan Drajat, mengajarkan tata cara membangun rumah, alat yang digunakan orang untuk memikul orang seperti tandu dan joli. Sunan Kudus, merancang pekerjaan peleburan, membuat keris, melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan undang-undang hingga system peradilan yang diperuntukkan bagi orang  Jawa.[9]
ØMenurut Serat Walisana, seperti disebut Sunyoto, tokoh Syarif Hidayatullah dikisahkan memiliki kaitan dengan ajaran sufisme melalui kitab-kitab Syaikh Ibrahim Arki, SyaikhSbti, Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Syaikh Abu Yazid Bustomi, Syaikh Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani. Perkembangan Tarekat Syattariyah dan Akmaliyah, sering pula di nisbatkan pada ajaran-ajaran Wali Songo, khususnya Syarif Hidayatullah, Sunan Giri,  Sunan Kalijaga,  dan Syekh Siti Jenar.[10]
Ø Dalam  Serat Kanda, seperti dikutip Muljana, terdapat berita bahwa Sunan Cirebon ikut serta membangun masjid Demak sebagai salah satu di antara Sembilan wali.  Keterlibatan Syarif Hidayatullah dengan kerajaan Islam di Demak, disebutkan pula dalam NaskahMertasinga. Sekurangnya terdapat beberapa peristiwa besar di Demak, antara lain rapat Walisongo pernah dipindah dari Demak ke Cirebon untuk membicarakan banyak hal di Jawa. Bukti kedekatan pengaruh juga ditunjukkan dengan pola pernikahan putra putrinya. Begitu pula dengan keterlibatannya dengan kerajaan Islam di Banten. Menurut sumberlain, Syarif Hidayatullah juga ikut dalam perjuangan Islam di Jayakarta melalui utusannya Fatahillah.[11]

Kesimpulan
Sebagai sosok historis, intelektual dan muballigyang lebih memilih dakwah syiar Islam bagi masyarakatnya, daripada sebagai penguasa formal birokratis di kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah telah menanamkan suatu peradaban moral dan teologis bagi muslim Indonesia terutama di Cirebon. Karena itu, bukti kejayaannya dapat ditemukan melalui bangunan tajug atau masjid dengan keragaman seni dan filosofinya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Masjid Merah Panjunan, barangkali diantara bukti peradaban muslim klasik Indonesia dari Syarif Hidayatullah selama kurun 1479-1568 di Cirebon.
Pengaruh Syarif Hidayatullah terhadap perkembangan Islam di Jawa sangat besar sekali. Adanya kerajaan Islam di Demak dan Banten merupakan beberapa contohnya. Tak kalah pentingnya lagi kontribusi Syarif Hidayatullah pada perkembangan Islam di Jawa Barat dengan cara dakwah dengan damai, mulai dari Kuningan, Indramayu, Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis, Sumedang, bahkan Jayakarta (Betawi).


Kunjungan ketua yayasan Nurussyahid Kertajati  ke Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat SE di Keraton Kasepuhan Cirebon






Share:

DELAPAN (8) METODE DAKWAH ISLAM YANG DILAKUKAN OLEH KANJENG SUNAN GRESIK (MAULANA MALIK IBRAHIM RA)


METODE DAKWAH  KANJENG SUNAN GRESIK DI PULAU JAWA

BAB I   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara mengenai proses Islamisasi di Indonesia dapat dikatakan sama dengan berbicara mengenai peranan para wali dalam penyebaran Islam, khususnya dalam hal ini adalah peranan Wali Songo. Karena melalui Wali Songo itulah, syiar Islam dapat berkembang di Indonesia khususnya di awali di  Pulau Jawa. Walaupun sesungguhnya para wali tidak hanya Wali Songo namun kesembilan wali inilah yang memiliki peranan penting terkait dengan keberhasilan strategi dakwah Islam yang berbasis pendekatan kultural. Di kalangan masyarakat, para wali yang terkenal adalah Wali Songo yang berjumlah sembilan orang, yakni mereka yang bergelar Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim), Sunan Drajat (Raden Qasim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Kalijaga (Raden Syahid), Sunan Kudus (Ja’far Shadiq), Sunan Muria (Raden Umar Said), dan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Dalam makalah ini, penulis tidak akan menguraikan satu per satu dari Wali Songo, akan tetapi hanya Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) yang akan dibahas mengingat bahwa Sunan Gresik merupakan wali tertua dari Wali Songo dan mempelopori strategi dakwah yang selanjutnya diteruskan oleh para wali sesudahnya.

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana Biografi Sunan Gresik ?
2.     Bagaimana Metode Dakwah Sunan Gresik ?
3.     Apa saja Peninggalan Sunan Gresik ?
C.     Tujuan Masalah
1.     Mengenal Biografi Sunan Gresik.
2.     Mengetahui Metode Dakwah Sunan Gresik.
3.     Mengetahui Peninggalan Sunan Gresik.



BAB II  PEMBAHASAN
A.    Biografi Sunan Gresik
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo, Gresik.[1]
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.  
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. 
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur. [2]
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) merupakan wali yang tertua dari Wali Sanga. Dari beliau, lahir anak-cucu yang diantaranya termasuk dalam Wali Sanga. Adapun Wali Sanga ini tidak hidup bersamaan, akan tetapi di antara mereka terjalin hubungan erat, yaitu ada yang memiliki hubungan darah (ayah-anak-cucu), guru-murid, atau persahabatan. Urutan keterkaitan di antara Wali Sanga tersebut adalah Sunan Gresik sebagai yang tertua. Sunan Ampel adalah putra dari Sunan Gresik. Sunan Giri adalah keponakan Sunan Gresik. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria merupakan putra dari Sunan Kalijaga. Sunan Kudus merupakan murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para sunan yang telah disebut, kecuali Maulana Malik Ibrahim karena lebih dulu meninggal. Sunan Gresik sebagai wali tertua tentu memiliki pengaruh terhadap para wali setelahnya, terutama yang berkaitan dengan metode dakwah.[3]
B.    Metode Dakwah Sunan Gresik
M Syaikh Maulana Malik Ibrahim, yang makamnya terletak dikampung Gapura di dalam kota Gresik, Jawa Timur, tidak jauh dari pelabuhan. Inkripsi makamnya yang menunjuk angka 882 H/1419 M, yaitu wafatnya menempatkannya sebagai salah seorang tokoh yang dianggap penyebar Islam tertua di Jawa.[4]
Maulana Malik Ibrahim, dikenal pula dengan sebutan Syekh Maghribi atau juga Sunan Gresik. Meskipun beliau bukan asli orang Jawa, namun beliau berjasa kepada masyarakat. Karena beliaulah yang mula pertama menyebarkan Islam di tanah Jawa. Sehingga berkat usaha dan jasanya, penduduk pulau Jawa yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Buddha di kala itu akhirnya mulai banyak yang memeluk Islam.

Berikut beberapa metode, sarana, dan usaha-usaha yang dilakukan Sunan Gresik dalam berdakwah:
1.     Mempelajari Adat Istiadat Setempat
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.[5]
Awalnya, siapa saja yang datang ke tempat baru,  akan merasakan kesulitan untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Hal ini terjadi lantaran adanya kekhawatiran akan salah tingkah ataupun sesuatu yang dilakukan tidak sesuai dengan adat istiadat masyarakat di wilayah yang baru ditempati. Demikian pula halnya yang terjadi pada Sunan Gresik. Karena beliau bukan merupakan orang Jawa, tentu harus mengadakan adaptasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat sebelum mengawali dakwahnya. Sebab beliau paham betul bahwa setiap negara memiliki aturan tersendiri dengan negara lain. Bahkan, setiap desa di suatu negara memiliki adat istiadat yang berbeda dengan desa yang lain. Untuk itu, Sunan Gresik mempelajari bahasa Jawa, mengenali adat istiadat tempat beliau tinggal, serta mempelajari kehidupan masyarakat, baik dari segi mata pencahariannya, pandangan hidupnya, dsb. dengan harapan bahwa hal tersebut akan membuatnya lebih berhati-hati dan tidak terjerumus dalam kesalahan yang dapat membuat masyarakat membencinya.

2.     Membuka Warung/Berdagang
Setelah berhasil memikat hati masyarakat sekitar, aktivitas selanjutnya yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.[6] Di wilayah yang baru ditempati, mula-mula Sunan Gresik membuka warung untuk berjualan makanan dan barang yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Berjualan menjadi salah satu sarana yang digunakan oleh Sunan Gresik dalam misi dakwahnya. Sebagai pendatang, tentu tidak mudah bagi beliau untuk langsung menjalankan misi dakwah. Oleh karena itu, diperlukan keakraban terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Bagi Sunan Gresik, berjualan merupakan cara yang cukup efektif dalam upaya mengakrabkan diri dengan masyarakat setempat. Dari berjualan, Sunan Gresik dapat membangun relasi yang baik dengan masyarakat serta dapat mempelajari segala hal pada masyarakat yang menjadi konsumennya, yakni mulai dari nama orang-orang, keluarganya, kondisi kehidupannya termasuk situasi sosial-ekonominya, wataknya, bahkan kalau perlu hal-hal yang bersifat pribadi juga beliau coba ketahui. Perlu dipahami bahwa motif dalam pendirian warung tersebut bukanlah untuk mencari keuntungan tetapi sebagai sarana dalam menyiarkan agama Islam sehingga apapun yang beliau perdagangkan, dijual dengan harga yang murah. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan masyarakat setempat.
3.     Membuka Lahan Pertanian
Sunan Gresik adalah orang yang ahli dalam pertanian. Beliau mampu memanfaatkan tanah di Jawa yang subur untuk menanam tanaman kebutuhan sehari-hari, seperti padi, umbi-umbian, dsb. Bahkan beliau merupakan orang pertama yang memiliki gagasan untuk mengalirkan air dari gunung untuk menunjang irigasi lahan pertanian penduduk. Kehadiran Sunan Gresik di tanah Jawa benar-benar menjadi berkah dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hasil pertanian menjadi semakin meningkat, sehingga banyak orang yang menaruh perhatian dan ingin belajar kepada beliau.
4.     Menjadi Tabib
Selain handal dalam perdagangan dan pertanian, Sunan Gresik juga cukup piawai dalam menangani masalah kesehatan. Dengan racikan obat yang dibuat beliau, hampir seluruh orang yang berobat mendapatkan kesembuhan. Dalam menjalankan praktik pengobatan, beliau tidak memungut biaya. Oleh karena keikhlasan pelayanan inilah yang semakin menempatkan posisi Sunan Gresik menjadi orang yang disegani dan terkenal dalam masyarakat. Kharisma beliau semakin kuat seiring dengan keberhasilan dalam mengobati berbagai penyakit dan menjadikan Sunan Gresik sebagai sandaran hidup masyarakat.
5.     Hidup dengan Sederhana
Hidup dengan sederhana bukan berarti tidak memiliki apa-apa. Hidup sederhana menandakan bahwa orang itu tidak tergantung terhadap materi. Orang yang mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap materi akan mencapai kebahagiaan sejati. Sebab, selama manusia masih tergantung pada materi, hidupnya tidak akan pernah puas. Selain itu, dengan hidup sederhana, seseorang dapat membuka pergaulan seluas-luasnya. Sebaliknya, hidup yang terbelenggu dalam kemewahan identik dengan kehidupan para elite sehingga masyarakat kelas bawah enggan untuk bergaul dengan para elite. Sunan Gresik sebagai ulama yang akan menjadi panutan seluruh elemen masyarakat tentu bukan kebetulan memilih hidup sederhana. Beliau mengetahui bahwa dengan hidup sederhana, dapat membangun relasi dengan siapa saja, baik di tingkat elite maupun tingkat bawah. Masyarakat menjadi tidak segan untuk bergaul dengan beliau, karena masyarakat memiliki pandangan bahwa beliau adalah sederajat dengannya dalam ranah sosial.
6.     Menghapus Perbedaan Kelas (Kasta)
Dalam kehidupan masyarakat di wilayah Sunan Gresik tinggal, terdapat kepercayaan masyarakat terhadap perbedaan kelas sosial. Ada masyarakat yang diposisikan kelas sosialnya sebagai masyarakat rendah, tengah, dan tinggi. Masyarakat rendah memiliki nasib yang malang karena tidak dapat menikmati hak-hak asasi manusia. Mereka dianggap tidak berguna oleh masyarakat pada kelas yang lebih tinggi lantaran kelas sosialnya yang rendah. Umumnya, masyarakat yang menempati kelas sosial rendah adalah para budak dan petani. Sebagai orang Islam, tentu Sunan Gresik tidak setuju dengan situasi tersebut. Di dalam agama Islam, tidak ada perbedaan kelas, yang membedakan seseorang dengan orang lain adalah dalam hal ketakwaannya. Oleh karena itu, Sunan Gresik yang jika dilihat dari kepercayaan masyarakat setempat, sebagai orang yang memiliki kelas sosial tinggi karena beliau tergolong kaya dan menantu raja, tetapi memposisikan diri sebagai orang yang sederajat dengan siapapun, termasuk dengan masyarakat yang dianggap memiliki kelas sosial rendah. Kemudian, beliau mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat bahwa dalam Islam derajat setiap manusia adalah sama dan selanjutnya banyak orang yang tertarik untuk masuk Islam. Dalam hal ini, Sunan Gresik telah membantu masyarakat kelas tinggi keluar dari kezaliman karena merendahkan masyarakat pada kelas sosial yang lebih rendah, dan mengangkat derajat masyarakat yang dianggap pada kelas sosial rendah pada posisi yang sama dalam status hubungan sosial.
7.     Membangun Masjid dan Pesantren
Setelah para pengikut Islam semakin banyak, Sunan Gresik mendirikan sebuah masjid sebagai tempat ibadah, sarana berdakwah, dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Pada waktu itu, masyarakat Jawa sudah terbiasa menetap di tempat gurunya yang mengajarkan ilmu. Ada tempat-tempat khusus yang disediakan oleh para guru untuk menampung murid yang ingin belajar kepadanya.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam pada masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
8.     Mengajarkan Islam dengan Mudah
Dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat awam, Sunan Gresik memiliki prinsip mengajarkan ilmu dengan mudah dipahami oleh masyarakat. Beliau tidak mengajarkan Islam secara rumit dan teoretis. Artinya, beliau mengajarkan agama Islam dengan disertai contoh praktis yang mudah dipahami dan dimengerti. Dalam mengajarkan Islam, beliau juga tidak menakut-nakuti masyarakat dengan dosa dan ancaman, melainkan disampaikan dengan gembira sebagaimana pesan Rasulullah Saw. Misalnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Stamford Raffles dalam bukunya History of Java, yang dikutip Arman Arroisi, ketika Sunan Gresik ditanya siapakah Allah itu? Beliau tidak menjawab bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Besar, yang akan menyiksa orang-orang yang membangkang dan memberikan pahala kepada orang-orang yang berbakti. Melainkan, beliau menjawab secara sederhana, “Allah adalah Dzat yang diperlukan ada-Nya.”  
Dengan beberapa metodologi tersebut, Sunan Gresik telah berandil besar mengembangkan Islam di Pulau Jawa dengan cukup pesat. Hal tersebut terjadi karena Islam disampaikan dengan santun dan penuh kebijaksanaan beliau, sebagaimana yang memang dianjurkan oleh Allah Swt. Dan diteladankan oleh Rasulullah Saw
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibu kota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibu kota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
C.     Peninggalan Sunan Gresik
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419. Makamnya kini terdapat di desa Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:
 “Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para sultan dan wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal 822 Hijriah”
Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim. Dan Pada beberapa nisan kubur Sunan Gresik terdapat tulisan kaligrafi, dituliskan petikan beberapa ayat al-Quran seperti Surat al-Baqarah ayat 225, Surat Ali Imran ayat 17, 18, 19, 25, 26, 27, 185.[7]
Kemudian satu-satunya masjid peninggalan Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah Masjid Tertua di tanah Jawa ternyata ada di Kabupaten Gresik, Jawa Timur.  Masjid tersebut adalah Masjid Pesucinan, di Dusun Pesucinan, Desa Leran, Kecamatan Manyar Gresik, yang  kini dikenal dengan Masjid Tertua di pulau Jawa.
Dalam catatan sejarah perjalanan panjang Syeikh Maulana Malik Ibrahim ke Pulau Jawa,  daerah yang pertama kali dituju dan disinggahi adalah Desa Sembolo atau yang kini dikenal dengan Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik, pada tahun 1389 Masehi. Dahulu, desa ini  berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit, dan terletak persis di bibir laut Jawa, 9 kilometer dari pusat kota Gresik sekarang.
Sayangnya, Tidak banyak catatan sejarah yang bercerita mengenai keberadaan Masjid Pesucinan yang berlokasi di tengah-tengah areal pertambakan tersebut.  Sebab letaknya yang sulit dijangkau oleh kendaraan besar seperti  bus pariwisata, membuat masjid yang berumur sekitar 664 tahun ini tampak asing dari hiruk pikuk kunjungan wisatawan, seperti masjid bersejarah pada umumnya di negeri ini.
Masjid peninggalan Syekh Maulana Malik Ibrahim ini, dipercaya penduduk setempat dan beberapa ahli sejarah merupakan masjid tertua di pulau Jawa peninggalan Syeikh maulana Malik Ibrahim, salah seorang diantara tokoh wali songo yang terkenal.
Secara kasat mata, masjid ini tidak terlihat mempunyai nilai sejarah tinggi, sebab telah beberapa kali mengalami pemugaran. Bahkan, dari beberapa catatan yang dihimpun Gresikgress.com, Masjid Pesucinan sudah di pugar beberapa kali, dan pemugaran terakhir terjadi pada tahun 2005.[8]


BAB III  PENUTUP
A.           Kesimpulan
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah nama salah seorang Walisongo. Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14 tertulis dalam Babad Tanah Jawi.
2. Adapun Metode Dakwah Sunan Gresik adalah Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergauland dengan mengenal adat istiadat masyarakat setempat. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Setelah berhasil memikat hati masyarakat sekitar, aktivitas selanjutnya yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang dengan membuka warung. Dengan hidupnya yang sederhana kemudian membuka lahan pertanian, dan ia menjadi tabib, sampai Menghapus Perbedaan Kelas (Kasta). Terakhir ia juga membangun mesjid dan Pesanren.
3.  Satu-satunya masjid peninggalan Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah Masjid Tertua di tanah Jawa ternyata ada di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Selain mesjid, ada benda arkeologi yang menjadi bukti adanya Sunan Gresik yaitu batu Nisan pada Makamnya yang bertuliskan petikan beberapa ayat al-Quran seperti Surat al-Baqarah ayat 225, Surat Ali Imran ayat 17, 18, 19, 25, 26, 27, 185.



Share:

MA NURUSSYAHID KERTAJATI ADAKAN UJIAN MASUK GELOMBANG KE I (SATU) UNTUK TAHUN PELAJARAN 2019/2020


 Foto Kegiatan 22 Peserta Didik Baru saat mengikuti ujian Masuk MA Nurussyahid Kertajati Tahun Pelajaran 2019/2020

MA NURUSSYAHID ADAKAN UJIAN MASUK GELOMBANG KE I (SATU) UNTUK TAHUN PELAJARAN 2019/2020
Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru Madrasah Aliyah Nurussyahid Kertajati Tahun Pelajaran 2019/2020 pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2019 dari sejak pukul 07.30 WIB telah mengadakan kegiatan Ujian Penerimaan Peserta Didik baru dengan 3 agenda yaitu:
1. Kegiatan Cek Kelengkapan Persyaratan diantaranya: Kartu keluarga, Akte Kelahiran, Kartu PIP bagi yang punya, KTP ke dua Orang Tua, SKTM, Surat Kelulusan dari Sekolah asal, dan Formulir Pendaftaran, untuk STTB dan SKHUN masih menunggu dari sekolah/ Madrasah asal dalam Proses.
2. Kegiatan Ujian Lisan Hapalan Surat Pendek, Bacaan Al-Qur'an dan Wawancara terkait dengan Bakat dan minat
3. Kegiatan Ujian Tulis dengan mengisi Soal Esay sebanyak 20 butir soal terkait dengan semua pelajaran dan Pengetahuan aktual.

Alhamdulillah semua kegiatan dilakukan dan dilaksanakan oleh semua Pengurus OSIS MA Nurussyahid Kertajati yang diketua oleh saudari Aisyah Nurohmah dan anggota lainnya. kegiatan Ujian masuk MA Nurussyahid Gelombang ke I ini di ikuti oleh 22 peserta didik baru sesuai dengan Daftar Nama di bawah ini:  

NO
NAMA PESERTA BARU
L/P
TEMPAT/ TGL LAHIR
CITA-CITA
ASAL SEKOLAH
1
DEDE MAULANA SAEFULLAH
L
Majalengka, 27 Nipember 2003
TNI
MTsN 8 Majalengka
2
DESVIANTI  NURSYAFITRI
P
Majalengka, 12 Desember 2003
Disegner
SMPN 1 Kertajati
3
DEWI MASITOH LAELASARI
P
Majalengka, 05 Mei 2003
 Polwan
MTsN 8 Majalengka
4
RIZKI PERMANA FEBRIAN
L
Majalengka, 14 Februari 2004
 TNI
MTsN 8 Majalengka
5
SRI HIDAYATI AZZAHRA
P
Jakarta, 17 Juli 2004
Disegner
MTsN 8 Majalengka
6
TITA NURJANNAH
P
Majalengka, 16 September 2003
Dokter
MTsN 8 Majalengka
7
ULUNG RIANI
P
Majalengka, 30 Maret 2004
Dokter
MTsN 8 Majalengka
8
IMA MUTMAINAH
P
Majalengka, 11 Agustus 2004
Pengusaha Sukses
MTsN 8 Majalengka
9
CATINI
P
Cirebon, 09 September 2003
Orang Sukses
MTsN 8 Majalengka
10
HERLINA
P
Majalengka, 11 Nopember 2002
Desainer
MTsN 8 Majalengka
11
ADIN SUPRIATNO
P
Majalengka, 17 JULi 2003
Guru
SMPN 1 Kertajati
12
RESTI SRI RAHAYU
P
Majalengka, 12 Januari 2004
Guru
MTsN 8 Majalengka
13
FEBRI PALENTINA
P
Majalengka,16 Februari 2004
Dokter
MTsN 8 Majalengka
14
REZA RIZKY
L
Majalengka,03 Januari 2004
Dokter
SMPN 1 Kertajati
15
NIA NAFIATUN NISA
P
Majalengka,27  September 2003
Guru
MTsN 8 Majalengka
16
AGUS JUHADI
L
Majalengka,22 Juli 2003
Sepak Bola
MTsN 8 Majalengka
17
DIMAS RENDRA PUTRA
L
Majalengka,21 Juni 2004
TNI
MTsN 8 Majalengka
18
IDA DAHLIA
P
Majalengka, 07 Oktober 2004
Guru
MTsN 8 Majalengka
19
RIZKA JULIANTI
P
Majalengka, 14 Februari 2004
Guru
SMPN 1 Kertajati
20
ABDUL GANI
L
Majalengka, 24 Maret 2003
Guru
SMPN 3 Kertajati
21
TEGUH ARYA WIGUNA
L
Majalengka, 11 April 2004
Guru
MTsN 15 Majalengka
22
TITIN MARYATI
P
Majalengka, 12 April 2003
Penyanyi
MTsN 8 Majalengka



FOTO KEGIATAN UJIAN TULIS MASUK MA NURUSSYAHID KERTAJATI TAHUN PELAJARAN 2019/2020






FOTO SAAT CALON SISWA BARU TES BACA DAN HAFALAN AL-QUR'AN




CEK BERKAS PERSYARATAN MASUK MA NURUSSYAHID KERTAJATI








Share:

NASEHAT MBAH MOEN BUAT KITA SEMUA

Translate

KUMPULAN KITAB TERJEMAHAN


Foto Kepala MA Nurussyahid Kertajati dengan Gus Sauqi Putra Abah KH. Ma'ruf Amin (Wakil Presiden RI)

KEPALA MA BERSAMA PARA PURNAWIRAWAN TNI PADA ACARA MUNAJAT RAJAB

SANTRI MA NURUSSYAHID KERTAJATI PADA ACARA MUNAJAT RAJAB 1440 H

KUNJUNGAN SULTAN SEPUH KE YAYASAN