Biografi Syekh Nurjati
Syekh
Nurjati dikenal sebagai tokoh perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon. Beliau
menggunakan nama Syekh Nurjati pada saat berdakwah di Giri Amparan Jati, yang
lebih terkenal dengan nama Gunung Jati, sebuah bukit kecil dari dua bukit, yang
berjarak + 5 km sebelah utara Kota Cirebon, tepatnya di Desa
Astana Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon.
Sebelumnya
Syekh Nurjati dikenal dengan nama Syekh Datul Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi.
Secara kronologis singkat, Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah
berusia dewasa muda pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh
Nurjati pergi ke Bagdad dan menemukan jodohnya dengan Syarifah Halimah serta
mempunyai putra- putri. Dari Bagdad beliau pergi berdakwah sampai di
Pesambangan, bagian dari Nagari Singapura (sekarang Desa Mertasinga,
Kabupaten Cirebon). Beliau wafat dan dimakamkan di Giri Amparan Jati.
Cerita
tentang Syekh Nurjati dijumpai dalam naskah-naskah tradisi Cirebon yang
merupakan bukti sekunder. Naskah-naskah tersebut berbentuk prosa, diantaranya :
Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda dan Sejarah Cirebon. Serta
naskah yang berbentuk tembang di antaranya Carub Kanda, Babad Cirebon,
Babad Cerbon terbitan S.Z. Hadisutjipto, Wawacan Sunan Gunung Jati, Naskah
Mertasinga, Naskah Kuningan dan Naskah Pulasaren. Dari sekian banyak
naskah hanya naskah Babad Cirebon terbitan Brandes saja yang tidak memuat
tentang Syekh Nurjati. Sedangkan naskah tertua yang menulis tentang Syekh
Nurjati dibuat oleh Arya Cerbon pada tahun 1706 M.
Syekh
Nurjati di Tempat Kelahiran, Malaka, Pertengahan Abad ke-14
Syekh
Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi, putra dari Syekh
Datuk Ahmad, seorang ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa,
yang juga seorang tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya. Syekh Datuk Ahmad
mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar
(Abdul Jalil). Jadi Syekh Datul Kahfi adalah saudara sepupu dari Syekh Siti
Jenar. Maulana Isa adalah putra dari Abdul Kadir Kaelani. Abdul Kadir Kaelani
adalah putra dari Amir Abdullah Khanudin, keturunan Nabi Muhammad SAW generasi
ke tujuh belas dari jalur Zaenal Abidin.
Syekh
Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Bayanullah yang mempunyai
pondok di Mekah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di wilayah
Cirebon; serta seorang adik wanita yang menikah dengan Raja Upih Malaka. Buah
dari perkawinan tersebut lahirlah seorang putri yang kelak menikah
dengan Dipati Unus dari Demak.
Syekh
Nurjati Menuntut Ilmu dan Pergi Haji ke Mekah
Sehubungan
dengan lamanya Syekh Nurjati bermukim di Mekah, maka sebagian naskah menyatakan
bahwa Syekh Nurjati berasal dari Mekah.
Syekh
Nurjati Pergi ke Bagdad dan Menemukan Jodohnya dengan Syarifah Halimah
Setelah
menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nurjati mencoba mengamalkan ilmu yang diperoleh
dengan mengajarkannya di wilayah Bagdad. Di Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan
Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul Alim. Ali Nurul Alim putra dari
Jamaludin al Husain dari Kamboja, yang merupakan putra dari Ahmad Shah
Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin. Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan
saudara secicit.
Dari
pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni Syekh
Abdurakhman (yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan), Syekh
Abdurakhim (kelak bergelar Pangeran Kejaksan), Fatimah (yang bergelar Syarifah
Bagdad), dan Syekh Datul Khafid (kadang-kadang disebut juga sebagai Syekh Datul
Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok ayahnya yaitu Syekh Datuk Kahfi,
atau Syekh Nurjati di beberapa manuskrip yang lebih muda umurnya, contohnya
Babad Cirebon Keraton Kasepuhan). Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh
kakak Syarifah Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja di Bagdad (1).
Syarif Sulaiman menjadi raja di Bagdad karena menikahi putri mahkota raja
Bagdad.
Syekh
Nurjati hidup pada abad pertengahan, antara abad 14-15 dan pernah bermukim di
Bagdad (sekarang Bagdad merupakan ibukota Irak). Kondisi sosial ekonomi Bagdad
pada rentang abad 14-15 sedang mengalami keemasan. Para filosof muslim mencapai
puncak kejayaannya pada masa itu. Kondisi tersebut sangat memungkinkan ikut
membentuk keluasan pikir Syekh Nurjati. Hal ini membantu kelancaran
dakwahnya (2) .
Di
Bagdad Syekh Nurjati hidup dan berumah tangga dan dikaruniai empat orang
putra-putri. Kemudian Syekh Nurjadi diutus oleh Raja Bagdad untuk berdakwah di
tanah Jawa serta menuruti suara hati nuraninya. Seraya memohon petunjuk kepada
Allah SWT, Syekh Nurjati bersama istrinya, Syarifah Halimah pergi berkelana
untuk berdakwah meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam
perjalanannya, sampailah Syekh Nurjati di Pelabuhan Muara Jati dengan
penguasa pelabuhan/ syahbandarnya bernama Ki Gedeng Tapa/ Ki Ageng Jumajan
Jati. Sesampainya mereka di Pelabuhan Muara Jati, Syarifah Halimah berganti
nama menjadi Nyi Ratna Jatiningsih/ Nyi Rara Api.
Syekh
Nurjati Pergi Berdakwah ke Pesambangan
Perkampungan
yang dekat dengan pelabuhan Muara Jati disebut Pesambangan. Diceritakan dalam
Carita Purwaka Caruban Nagari, dalam Sejarah Banten, juga dalam Naskah
Mertasinga, bahwa Syekh Nurjati/Syekh Idofi Mahdi/ Syekh Datuk Kahfi, mendarat
di Muara Jati setelah pendaratan Syekh Quro dan rombongan. Syekh Nurjati
bersama rombongan dari Bagdad sebanyak sepuluh orang pria dan dua orang
perempuan tiba di Muara Jati. Rombongan ini diterima oleh Penguasa Pelabuhan Muara
Jati, Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati sekitar tahun 1420 M. Syekh
Nurjati mendapatkan ijin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah
Pesambangan(3), di sebuah bukit kecil yang bernama Giri Amparan Jati.
Di
tempat baru tersebut, Syekh Nurjati giat berdakwah sebagai dai’ mengajak
masyarakat untuk mengenal dan memeluk agama Islam.
Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang-orang berdatangan dan
menyatakan diri masuk Islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin banyak
orang yang menjadi pengikut Syekh Nurjati(4).
Dalam
interaksinya dengan masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nurjati menikah dengan
Hadijah. Hadijah adalah cucu Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, orang pertama
yang pergi berhaji dari Jawa Barat, yang saat itu masih bernama Kerajaan
Galuh), janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut.
Dengan pria tersebut Hadijah tidak dikaruniai putra, namun setelah pria
tersebut meninggal dunia, Hadijah memperoleh seluruh harta warisan dari suaminya.
Setelah suaminya meninggal dunia, Hadijah bersama kedua orang tuanya pulang ke
Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan. Harta warisan tersebut
digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh Nurjati untuk membangun
sebuah pondok pesantren yang bernama Pesambangan Jati.
Pernikahan
Syekh Nurjati dengan Hadijah dikaruniai seorang putri yang bernama
Nyi Ageng Muara, yang kelak menikah dengan Ki Gede Krangkeng. Krangkeng
sekarang merupakan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Indramayu.
Pondok
Pesantren Pesambangan Jati adalah pondok pesantran tertua di wilayah
Cirebon (saat itu masih bernama Nagari Singapura) dan pondok pesantren tertua
kedua se-Jawa Barat (saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), setelah Pondok
Pesantren Quro di Karawang, yang didirikan oleh Syekh Quro (Syekh Hasanudin/
Syekh Mursahadatillah). Syekh Quro adalah saudara sepupu Syarifah Halimah.
Syekh Quro adalah putra dari Dyah Kirana dengan Syekh Yusuf Sidik
(Wali Malaka). Sedangkan Dyah Kirana adalah putri Imam Jamaludin al Husain dari
Kamboja (kakek Syarifah Halimah).
Keterkaitan
Syekh Quro dengan Syekh Nurjati dan Perkembangan Dakwah di Giri
Amparan Jati
Syekh
Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh
Nurjati adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin
generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama
rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan
Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut
dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam.
Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M. Mereka semua telah masuk
Islam.Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam
rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang,
Syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada
akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh
ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama
kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di
Cirebon (5).
Gerakan
dakwah mereka berdua dapat terjalin secara harmonis dan berjalan saling bantu
membantu. Syekh Quro mengirimkan orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu
Karawang, ke Dukuh Pesambangan, terbukti dengan adanya nisan makam
Penghulu Karawang di Amparan Jati.
Keharmonisan
dakwah antara Cirebon dan Karawang berlanjut dengan :
1.
Cucu
Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton, bernama Musanudin. Kelak Musanudin
menjadi lebaidi Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada
masa pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh Ahmad
merupakan anak dari Syekh Quro dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.
2.
Puteri
Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung
Sembung (Nur Giri Cipta Rengga) yang bernama Masjid Dog Jumeneng/ Masjid Sang
Saka Ratu, yang sampai sekarang masih digunakan dan terawat baik.
3.
Pengangkatan
juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman
Cirebon.
Diceritakan
pada suatu waktu, Raden Pamanah Rasa (kelak menjadi Sri Baduga Maharaja, Raja
Pajajaran, yang terkenal dengan sebutan Prabu Siliwangi) mengadakan perjalanan
ke Pondok Pesantren Quro, Pulo Klapa, Telagasari, Karawang, yang dipimpin oleh
Syekh Quro ( Syekh Mursahadatillah). Dalam pelawatan tersebut Raden Pamanah
Rasa jatuh cinta kepada Puteri Subang Keranjang (Subang Larang),
santriwati pesantren Syekh Quro, putri Ki Gedeng Tapa dari Singapura. Singapura
adalah sebuah negara bagian dari Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Prabu
Niskala Wastu Kancana. Raden Pamanah Rasa melamar sang puteri dan puteri Subang
Karancang bersedia dinikahi dengan syarat Raden Pamanah Rasa masuk Islam dan
diperkenankan mendidik keturunannya dengan ajaran Islam.
Dari
perkawinan Raden Pamanah Rasa dengan Puteri Subang Keranjang lahirlah tiga
orang putra yaitu Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Mas Rarasantang, dan
Pangeran Raja Sengara/ Kean Santang.
Pangeran
Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang Datang ke Amparan Jati
Di
kampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam. Karena menggunakan
cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan agama Islam, maka dalam
waktu relatif singkat pengikutnya semakin banyak, hingga akhirnya pengguron kedatangan
Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis/ Endang Ayu dan
adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari agama
Islam (6).
Mereka
adalah cucu dari syahbandar pelabuhan Muara Jati dari jalur ibunya.
Kedatangan mereka ke Gunung Jati di samping melaksanakan perintah ibundanya
sebelum meninggal, juga bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa.
Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu
Siliwangi (7). Karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah
Nyi Subang Larang meninggal dunia. Tetapi kedua putra-putrinya itu sudah
dididik dan diberi petunjuk oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam
di Pangguron Gunung Jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam
agama Islam, menjadi santri Syekh Nurjati di Pesambangan Jati. Pada saat mereka
bertiga diterima menjadi santri baru, Syekh Nurjati berdoa, “ Wahai Tuhan
kami, jadikanlah kami orang-orang yang menghidupkan agama Islam mulai hari ini
hingga hari kemudian dengan selamat. Amin.”
Di
antara murid-muridnya, murid yang tercatat sangat cerdas adalah Pangeran
Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang. Walaupun keduanya telah menjadi
muslim sejak kecil, dan belajar ke Syekh Quro, tetapi ketika datang ke
pesantren Syekh Nurjati keduanya dan Nyi Indang Geulis (istri Pangeran
Walangsungsang), tetap diminta kembali mengucapkan kedua kalimah syahadat.
Syekh Nurjati memberi pelajaran kepada mereka mulai dari yang sangat dasar
(rukun Islam), tentang pelajaran tauhid sebagai dasar pondasi keimanan. Mengapa
Syekh Nurjati melakukan metode pengajaran seperti kepada orang yang baru
mengenal ajaran dasar Islam? Menururt Besta Basuki Kertawibawa, kemungkinan ada
keraguan pada Syekh Nurjati terhadap kadar keimanan dan pengetahuan ketiganya
tentang agama Islam. Hal ini dikarenakan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas
Ratu Rara Santang adalah putra-putri dari Raja Pajajaran yang beragama
Hindu-Budha. Selain itu, pengalaman mereka tentang agama Islam masih dalam
tahapan pemula (8).
Dalam
naskan lainnya diterangkan, Syekh Nurjati mengajarkan membaca syahadat dengan
arti dan maksud secara mendalam(9). Selain itu ada sebuah pesan yang berbunyi:
“Apabila
engkau berhajat akan menghadapi seorang kikir, atau orang yang congkak, atau
orang yang mempunyai utang yang dikhawatirkan akan berbuat jahat, bacalah
sebuah doa yang artinya:
Wahai
Tuhan, Engkau yang Maha Mulia dan Maha Besar dan saya adalah hamba-Mu yang
rendah dan lemah yang tidak berkekuatan apa-apa melainkan dengan
pertolongan-Mu. Wahai Tuhan tundukkanlah kepada saya (si fulan) seperti engkau
menundukkan Firaun terhadap Nabi Musa as. Lunakkanlah hatinya seperti engkau
telah melunakkan besi terhadap Nabi Daud as. Sesungguhnya tidak akan terjadi
sesuatu melainkan dengan seizin-Mu. Nyawanya ada dalam genggaman-Mu. Syekh
Nurjati memberi wejangan tentang agama Islam yang diawali oleh firman Allah
yang berbunyi: Yaa ayyuhalladzina aamanu udkhulu fissilmi kaffah (hai
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam agama Islam secara keseluruhan).
Kemudian, ia menjelaskan kandungan pokok ajaran Islam, yakni salat lima
waktu, zakat, shaum (puasa), ibadah haji,umrah,
perang sabil, ajakan ke arah kebajikan, serta menolak kemunkaran. Selain itu,
ia memberikan berbagai macam ilmu, antara lain, ilmu ushuluddin (pokok-pokok
agama), ilmu fiqih (aturan hukum keagamaan), dan ilmu tasawuf(penyucian
diri)” (10).
Ajaran
Perang Sabil dari Syekh Nurjati, dilaksanakan oleh Pangeran Walangsungsang
dalam banyak pertempuran sampai tahun terakhir menjelang kewafatannya.
Wejangan
lain Syekh Nurjati adalah tentang agama Islam dan makna yang terkandung dalam
azimat yang telah diperoleh Walangsungsang. Ringkasan ceritanya sebagai
berikut:
Setelah
ajaran tentang keimanan diberikan, maka pelajaran secara bertahap terus
diberikan. Misalnya pelajaran ilmu fikih sebagai sarana untuk melaksanakan
syariat agama Islam. Pelajaran ini mesih dalam taraf yang mendasar sebelum
ajaran tentang tarikat, hakikat, dan makrifat. Syekh Nurjati adalah
seorang ulama yang menganut mazhab fikiih Imam Syafi’i ( Mazhab Syafi’i).
Menurut Rama Guru Pangeran Nurbuat,(11) tarekat Syattariah masuk ke
wilayah Cirebon dibawa oleh Syekh Nurjati.
Dari
pertemuan dengan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, istri, dan adiknya
mendapat anugrah ilmu yang sangat tinggi. Nama Gunung Jati muncul karena cerita
pertemuan Walangsungsang dengan Syekh Nurjati di Gunung Jati. Di hadapan Syekh
Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, dan Indang Ayu
dengan khusuk menekuni wejangan-wejangan yang diterimanya, yakni tentang dua
kalimah syahadat, salawat dan dzikir, zakat
fitrah dan munggah (ibadah) haji, puasa dibulan
Ramadhan, salat lima waktu, dan membaca al Qur’an, kitab
fikih dan tasawuf. Inilah di antara ajaran yang diterima
dari Syekh Nurjati (12).
Sebelum
menjadi santri Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu
Rarasantang, adiknya, serta Nyi Indang Geulis (istrinya) telah terlebih
dahulu berguru kepada para pendeta Budha di beberapa tempat, yang berarti
mempelajari ilmu-ilmu di luar ilmu-ilmu Islam.
Setelah
tiga tahun menuntut ilmu, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah oleh
Syekh Nurjati. Pada saat memberikan nama Somadullah, Syekh Nurjati memberi
nasehat berupa reinterpretasi ajaran-ajaran non-Islam dari para guru Pangeran
Walangsungsang sebelumnya, menurut sudut pandang Islam. Hal ini terungkap pada
saat Syekh Nurjati memberikan wejangan kepada ketiga orang tersebut, yaitu
sebagai berikut :
“Hai
Somadullah, sesungguhnya engkau memperoleh rahmat Islam itu memang sudah
kepastian sejak zaman azali, dan engkau disuruh datang ke Gunung Merapi dan
bertemu dengan Sang Hyang Danuwarsih itu mengandung hikmat yang penting ialah
bahwa engkau akan bertemu dengan alim ulama yang menjadi warisan ambiya.
Dalam pertemuan dengan Sang Hyang Danuwarsih, engkau berhasil menerima pusaka
berupa Cincin Ampal yang kepentingannya ialah untuk mengetahui
perkara gaib dan dapat digunakan untuk “merawat” sesuatu dengan keadaan
selamat. Nama ampal itu diambil dari perkataan fa’ti
bi maa anfaan naasa, artinya : usahakanlah apa yang sekiranya membawa
manfaat bagi manusia. Dan engkau menerima BajuKamemayan yang
antara lain kepentingannya ialah agar engkau disegani dan disayang oleh segenap
makhluk. Itu memang betul karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya
begini, ‘barang-siapa yang takut kepada Allah, Allah akan memberinya jalan
keluar dari kesempitan hidupnya dan memberi rejeki dengan tak diduga-duga dan
tanpa susah payah. Kalau engkau ingin jangan dibenci orang, pegang teguhlah
ayat tersebut untuk pedoman dalam langkah hidupmu, dan engkau menerima
lagi Baju Pengabaran yang antara lain kepentingannya engkau
tidak mempunyai rasa takut menghadapi musuh yang bagaimanapun banyaknya,
karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya : “Dan berbaktilah kepada
Tuhanmu hingga saat ajalmu datang”. Sedangkan, orang yang berpegang pada ayat
tersebut dengan keyakinan yang teguh, ia akan mempunyai keteguhan hati dalam
menghadapi musuh yang bagaimana pun. Lalu engkau menerima pula Baju
Pengasihan yang gunanya agar semua mahluk, baik jin maupun setan
siluman apa saja tunduk kepadamu. Itu betul, jika engkau ingin ditakuti oleh
semua mahluk, amalkanlah ayat tersebut.
Selain
dari Sang Hyang Danuwarsih, engkau mendapat pula beberapa pusaka dari Sang
Hyang Naga berupa azimat Ilmu Kadewa. Namanya itu diambil dari
perkataan Dawaa ud diini, artinya, obatnya agama ; dalam hal ini
dimaksud bahwa orang yang beragama itu harus berilmu. Ada syair Arab yang
artinya, “ Barang-siapa yang berbuat sesuatu tidak didasarkan ilmu, amal
perbuatannya itu tidak akan diterima oleh Allah”. Sedikit keterangan
bahwa orang yang memegang agama itu sama dengan orang yang memegang negara.
Apabila ia dapat memegang agama, ia akan dapat memegang negara, tetapi tidak
sebaliknya orang yang dapat memegang negara, belum tentu ia akan dapat
memegang agama.
Selanjutnya
Syekh Nurjati berkata kepada Somadullah, “Engkau menerima pula dari Sang Hyang
Naga berupa Ilmu Kapilisan, yang diambil dari perkataan falaysa
lil insaani nisyaanudz dzikri, yang artinya tidak patut bagi seorang
manusia melupakan dzikir kepada Allah SWT Makna lebih lanjut dari Ilmu
Kapilisan adalah kirang mimang ing batuk ingsun sari sedana ing lambe
ingsun amanat pengucapan ingsun iku wong sekabeh tua gede cilik pada welas pada
asih kabeh maring ingsun kelawan berkahe kalimat llaa ilaha illallahu
muhammadur rosulullahi. Doa ini hendaknya dibaca dengan tekad yang
bulat turut pada ketika membaca kalimat toyyibah, hendaknya seluruh
jiwa raga dihadapkan kepada Allah dan setelah doa itu selesai dibaca lalu
diusapkan ke dahi. Selain itu, engkau diberi juga Ilmu
Keteguhan, diambil dari perkataan falainsa lil gonisi bakhilun,
artinya tidak patut pagi seorang kaya untuk berlaku kikir. Lalu, engkau diberi
pula golok cabang yang ia dapat berbicara dan dapat terbang.
Dapat mengalahkan kekuatan singa, dapat menghancurkan gunung yang gagah
perkasa, dan dapat pula mengeringkan air laut yang sedang meluap-luap.
Nama golok cabang itu berasal dari perkataan khuliqo
lisab’ati asyyaa-a”, artinya dijadikan untuk tujuh perkara. Maksudnya
jika engkau menghendaki mendapatkan apa yang engkau kehendaki, engkau harus
menghadapi ketetapan anggota badan yang tujuh, ialah anggota sujud.
Jelasnya, jika engkau ingin mencapai segala sesuatu, hendaknya engkau
tunduk sujud kepada Allah.
Selanjutnya
engkau sampai di Gunung Kumbang dan bertemu dengan Sang Hyang Naga, kemudian
engkau diberinya macam-macam azimat …..diikuti tutur katanya. Kemudian engkau
diberi azimat Ilmu Kesakten guna keselamatan agar tutur katamu
dituruti. Kemudian engkau diberinya lagi azimat Limunan untuk
dapat bersembunyi di dalam terang, artinya jangan mempunyai perasaan benar
sendiri. Kemudian engkau diberi azimat yang diberi mana Aji Titi Murti,
berasal dari kata fa’ti bi maa umirta; kerjakanlah olehmu segala
perintah yang baik-baik, agar dapat mengusahakan segala sesuatu yang
rumit-rumit dan sesuatu yang sukar-sukar menjadi mudah. Kemudian, engkau diberi
lagi azimat Aji Dwipa guna mengetahui dan memahami segala pembicaraan, seperti
gunanya topong itu dipakai, maka engkau tidak akan dilihat manusia lagi.
Kemudian engkau menerima pulaBaju Pusaka Waring yang dapat
digunakan untuk terbang, dan engkau menerima pusaka berupa Umbul-umbul
Waring yang antara lain kepentingannya agar selamat rahayu dari
senjata musuh dan dapat melemahkan tenaga-tenaga musuh. Artinya, bila tidak
ingin kelihatan segala rahasia dan keburukan oleh orang lain harus mengikuti
ucapan : ud’u lillahi ala jami’annasi bittaqwa; ajaklah semua
manusia untuk melakukan taqwa kepada Allah. Baju Pusaka Waring
bertuliskan qolbul khosi’i mabruuurun; artinya hati seorang yang
khusyu’ dapat diterima oleh Tuhan. Umbul-umbul Waring memiliki
tulisan : ‘Hai manusia, carilah harta benda dengan cara yang sebaik-baiknya,
jangan asal memperoleh saja. Azimat Panjang dari Ratu
Bangau artinya dalam menyebarkan agama Islam akan dibantu oleh para wali; Pendil petunjuk
kearah agama yang hak dan Bareng artinya dalam segala
aktivitas harus mengikuti tiga perkara : syariat, tarekat, dan
makrifat (13).”
Syekh
Nurjati bukan saja memberi bekal kehidupan dan hidup sesudah mati pada Pangeran
Walangsungsang, adik dan istrinya, tetapi ia mampu mengubah
kepribadian sang anak raja tersebut menjadi seorang pahlawan yang tidak hanya
suka hidup dalam kemewahan sebagai putra raja, tetapi menjadi sosok pribadi
pejuang yang saleh dan tangguh. Syekh Nurjati merasa Pangeran Walasungsang
bersama adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang dan istrinya, Nyi Indang Geulis, telah
berguru di pengguron Islam Gunung Jati telah memiliki keteguhan
iman. Setelah memberi nasehat, Syekh Nurjati memerintahkan Pangeran
Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Endang Ayu untuk membuka
perkampungan baru di selatan Gunung Jati untuk penyiaran agama Islam.
Syekh
Nurjati Memerintahkan Pangeran Walangsungsang Membuka Perkampungan
Setelah
menerima wejangan dari Syekh Nurjati dan seizin kakeknya (Ki Gedeng Tapa),
Somadullah memilih kawasan hutan di kebon pesisir, di sebelah selatan Gunung
Jati, yang disebut Tegal Alang-alang atau Lemah Wungkuk. Di kawasan tersebut
ternyata telah bermukim Ki Danusela, adik Ki Danuwarsih (mertua
Somadullah).
Setibanya
di tempat yang dituju, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki
Pengalangalang dan mengucapkan kalimat: Lamma waqo’tu; ketika saya
telah tiba. Ucapan Pangeran Walangsungsang tersebut kemudian menjadi nama Lemah
Wungkuk. Ki Pengalangalang menyambut mereka dan mengakui ketiga orang
yang datang tersebut anaknya.
Keesokan
harinya, setelah salat Subuh, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah mulai
bekerja membabat hutan hingga ke pedalaman yang dipenuhi binatang buas. Untuk
memperoleh keselamatan, Somadullah mengucapkan kalimat: fa anjayna;
artinya, aku telah selamat. Karena itu, tempat yang dibabatnya kemudian bernama
Panjunan asal kata dari fa-anjayna. Demikian pula tempat-tempat
lain dinamai berdasarkan hal-hal yang dialami oleh Pangeran Walangsungsang;
antara lain, pekerjaan membabat hutan diteruskan hingga ke tempat yang tidak
diketahui lagi. Setelah berdoa kemudian tampak ada jalan, ia berucap: fasyamula;
artinya, maka mengetahuilah. Dari ucapan ini lahirlah tempat yang bernama
Pasayangan; ketika di suatu tempat ia berfikir kemudian mengucapkan; fakkarnaa;
artinya, aku berpikir, tempatnya disebut Pekarungan yang berasal dari
kata fakkarnaa. Ketika tiba di suatu tempat yang menyenangkan, ia
berucap fa amma sirri jamarin samarin, sesungguhnya perasaanku
merasa senang karenanya tempat tersebut dinamakan Gunung Sari dan Dukuh Semar.
Di suatu tempat yang apabila sudah menjadi perkampungan mudah memperoleh rizki,
ia mengucapkan doa farjanaa, artinya, Ya Allah berilah rizki pada
hamba, sehingga tempat tersebut dinamakan Parujakan. Di suatu tempat ketika ia
tidak ingat apa-apa, ia berucap: fakholanaa, artinya, aku lupa,
tempat tersebut kemudian disebut Pekalangan. Ketika ia mendapat petunjuk, ia
berucap:fahandaasna (faha-dayna), aku mendapat petunjuk,
menjadi tempat bernama Pandesan. Ketika di suatu tempat ia merasa senang, ia
berucap: rokibuna rumata illaihi farihin, yang kemudian menjadi
tempat bernama Kebon Pring. Ketika ia melihat dua tanda dari dua Kanoman dan
Kasepuhan, ia berucap: farutu aajataini, artinya aku melihat dua
tanda sehingga tempatnya tersebut Anjatan. Ketika di suatu tempat ia melihat
ada musuh di depannya, ia berkata: falaa sasaraynaa; artinya, aku
tidak terus berjalan sehingga tempat tersebut dinamakan Pulasaren dan di
dekatnya dinamakan Jagasatru, musuh yang berjaga-jaga (14).
Pada
tanggal 14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8
April tahun 1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848
Hijriyah, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah dibantu 52 orang penduduk,
membuka perkampungan baru di hutan pantai kebon pesisir (15).
Dengan
semangat tinggi dan ketekunannya, Pangeran Walasungsang dapat menyelesaikan
pekerjaannya. Setelah selesai pembuatan pendukuhan yang semula Tegal
Alang-Alang atau Kebon Pesisir diberi nama Caruban Larang dengan kuwu
pertama adalah Ki Danusela. Sedangkan Ki Somadullah menjadi pangraksabumi yang
bertugas memelihara tanah pemukiman dengan julukan Ki Cakrabumi.
Somadullah/
Ki Cakrabumi adalah pada siang hari bekerja membabat hutan dan pada malam hari
bekerja mencari ikan di tepi laut, sementara istri dan adiknya bekerja menumbuk
rebon (udang kecil) untuk dibuat terasi. Perkampungan yang dibangun Somadullah
berkembang menjadi perkampungan besar yang disebut Grage, yang berarti negara
gede.
Perkampungan
Somadullah dan usahanya membuat terasi diketahui oleh Raja Galuh. Ia mengutus
patihnya untuk menyelidiki perkampungan di pesisir pantai yang ada di bawah
kekuasaan Kerajaan Galuh. Apabila rakyatnya telah mencapi 69 orang,
perkampungan tersebut telah menjadi sebuah desa dan diharuskan membayar pajak
setiap tahun serta mempersembahkan tumbukan rebon halussewakul (sekitar
45 kilogram). Dalam pertemuan antara utusan Raja Galuh dan Somadullah
dibicarakan status perkampungan baru yang ternyata telah dihuni oleh 70 orang
penduduk sehingga perlu dibentuk satu desa di bawah pimpinan seorang kuwu (kepala
desa). Desa tersebut kemudian dipimpin oleh Ki Pangalangalang sebagai kuwu
karena Cakrabumi tidak bersedia menjadi kuwu. Selesai upacara pengukuhan kuwu,
diadakan perjamuan. Rombongan Kerajaan Galuh menikmati garagal (tumbukan)
rebon beserta air rebon. Utusan kerajaan Galuh sangat menikmati air rebon yang
dalam bahasa sunda disebut Cairebon, dari kata cai dan rebon (16).
Ketika Ki Pangalangalang meninggal, ia diperlakukan secara Islam oleh Ki
Cakrabumi. Perlakuan jenazah secara Islam ini merupakan awal dari penyebaran
ajaran Islam kepada penduduk Cirebon. Sejak itu, setiap malam diadakan
pengajian oleh Ki Cakrabumi. Sepeninggal Ki Pangalangalang, datanglah utusan
karajaan Galuh untuk mengganti kedudukan Ki Pangalangalang sebagai kuwu
Cirebon. Melalui kesepakatan, akhirnya Ki Cakrabumi terpilih sebagai Kuwu
Cirebon menggantikan Ki Pangalangalang dan mendapat gelar Cakrabuana memerintah
457 orang penduduk desa Cirebon.
Pangeran
Walangsungsang ketika membuka pedukuhan juga mendirikan sebuah masjid yang
diberi nama Masjid Pejelagrahan (asal kata dari jala-graha yang
artinya rumah di atas laut). Sekarang letak masjid tersebut sekarang berada
tepat di sebelah luar dinding Keraton Kasepuhan, di Kelurahan Kasepuhan, Kota
Cirebon.
Seusai
membangun pedukuhan, Syekh Nurjati menemui Pangeran Walangsungsang di Kebon
Pesisir, kemudian menyarankan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu
Rarasantang untuk pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan
disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa. Keduanya menuruti
nasehat Syekh Nurjati dan berhasil menemui Syekh Ibrahim di Campa.
Di
Campa Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menerima
wejangan dari Syekh Ibrahim, selanjutnya Syekh Ibrohim menyuruh keduanya
untuk melanjutkan perjalanan ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di
pondok Syekh Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh
Abuyazid (17) .
Setelah
berhaji, Nyi Mas Ratu Rarasantang bergelar Nyi Haji Syarifah Mudaim dan
Pangeran Walangsungsang bergelar Haji Abdullah Iman. Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang
dipersunting oleh Raja Mesir, Maulana Sultan Mahmud/Syarif Abdullah.
Tak
lama kemudian, pernikahan antara Syarifah Mudaim dan Syarif Abdullah
dilangsungkan di kerajaan Bani Israil yang disaksikan oleh Haji Abdullah Iman
dan alim-ulama beserta pembesar kerajaan (18). Syarifah Mudaim berharap
dapat melahirkan anak yang bisa mengislamkan tanah Jawa. Hasil pernikahan Nyi
Rara Santang ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif
Nurullah meneruskan memimpin kerajaan ayahandanya, sementara Syarif
Hidayatullah berniat mensyiarkan Islam di tanah Jawa.
Syekh
Bayanullah (Adik Syekh Nurjati) Mendirikan Pondok Pesantren Quro di
Kuningan
Syekh
Bayanullah tiba di Cirebon bersama Syekh Bentong (putra Syekh Quro Karawang)
setelah menunaikan ibadah haji. Syekh Bayanullah mendirikan Pondok Pesantren
Quro di Desa Sidapurna, Kuningan, setelah menikah dengan Nyi Wandasari,
putri Surayana, penguasa Sidapurna. Surayana adalah putra Prabu Niskala Watu
Kancana dari istri ketiganya. Dari perkawinan itu lahirlah Maulana Arifin.
Maulana Arifin kelak berjodoh dengan Ratu Selawati, Penguasa Kuningan. Ratu
Selawati adalah adik Jayaraksa (Ki Gedeng Luragung) serta kakak
Bratawijaya
(Arya Kemuning). Mereka adalah cucu Sri Baduga Maharaja yang kelak di-Islamkan
oleh uwaknya Pangeran Walangsungsang (19).
Kedatangan
Pangeran Panjunan
Bagian
ini diselingi oleh cerita Sultan Sulaeman di Negeri Bagdad yang dilanda
kegundahan karena anaknya yang bernama Syarif Abdurrahman dan adik-adiknya,
Syarif Abdurrakhim, Syarifah Bagdad dan Syarif Khafid mempelajari Ilmu Tasawuf
yang tidak disukai oleh Sultan Sulaeman dan suka bermain rebana, yang
kelak menjadi cikal bakal kesenian Brai di Cirebon. Akhirnya, Syarif
Abdurrahman diusir dari kerajaan. Syarif Abdurrahman mengadukan pengusiran
ayahnya kepada gurunya, Syekh Juned. Menurut Syekh Juned, tidak ada tempat lain
yang harus dituju kecuali Cirebon, tempat yang tentram dan di masa yang akan
datang akan diduduki oleh para wali.
Sementara
itu Haji Abdullah Iman berniat kembali ke tanah Jawa. Dalam perjalanan kembali
ke tanah Jawa, ia mengunjungi Syekh Ibrahim Akbar di Campa dan dijodohkan
dengan putrinya dan di bawa pulang ke Cirebon (18). Kelak keduanya
dikaruniai tujuh orang putri yang setelah dewasa bermukim di beberapa tempat
menjadi sesepuh desa.
Haji
Abdullah Iman membangun sebuah keraton di Cirebon yang diberi nama Keraton
Pakungwati yang diambil dari nama anaknya yang baru lahir buah
perkawinannya dengan Nyi Indang Geulis. Setelah pembangunan keraton selesai,
Haji Abdullah Iman diangkat oleh ayahnya, Prabu Siliwangi, menjadi Ratu Sri
Mangana dan diberi payung kebesaran.
Syarif
Abdurrakhman yang diusir ayahnya dari Bagdad melakukan perjalanan menuju
Cirebon sesuai dengan saran gurunya, Syekh Juned. Ia ditemani oleh tiga orang
adiknya dan 1.200 orang pengikutnya yang diangkut dengan empat buah kapal.
Akhirnya mereka tiba di Caruban. Setibanya di Caruban, mereka langsung
menghadap Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan minta izin untuk tinggal di Caruban.
Kemudian diizinkan dan ditempatkan di daerah Panjunan dan Syarif Abdurrakhman
ini dikenal dengan sebutan Pangeran Panjunan (20). Di tempat
tersebut, Pangeran Panjunan bersama para wali mendirikan sebuah masjid, yang
sekarang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Merah Panjunan.
Masjid
Panjunan selain memiliki keunikan berwarna merah, juga memilki keunikan lain.
Arsitektur pada gapura masjid tersebut asimetri dan memilki candrasengkala berupa
srimpedan, yang juga dimiliki oleh Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan
Syarif Abdurrakhim bertempat tinggal di Kejaksan dan bergelar Pangeran Kejaksan
serta membuat masjid di tempat tersebut.
Mereka
bertemu ayahandanya, Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Khafid dan Syarifah
Bagdad menetap di Gunung Jati(21).Syarifah Bagdad kelak menikah dengan Syarif
Hidayatullah dan menjadi sekretaris pribadi dalam hal masalah keagamaan
sehingga bergelar Nyi Mas Penatagama Pesambangan yang sangat alim dan berakhlak
mulia, sehingga Sunan Gunung Jati sangat mencintainya dan putranya diangkat
menjadi putra mahkota. Namun kedua putranya baik Pangeran Jaya Kelana
maupun Pangeran Brata Kelana, meninggal/ syahid dalam usia muda.
Wejangan
Syekh Nurjati Kepada Syarif Hidayatullah dan Para Wali
Setelah
berkelana menemui para wali di Jawa, Syarif Hidayatullah pada tahun 1475 (Ada
naskah yang menyebut 1470) mendarat di Amparan Jati dan menemui uwaknya
(Pangeran Walangsungsang) yang pada saat itu menjadi Kuwu Cirebon. Uwaknya
sangat gembira atas kedatangan keponakannya tersebut dan mendukung niatnya.
Tetapi sebelumnya Pangeran Walangsungsang memberi nasihat agar sebelum
melakukan syiar Islam, terlebih dahulu menemui Ki Guru, yakni Syekh Nurjati di
Gunung Jati. Syarif Hidayat agar meminta nasihat dan petujuk, bagaimana dan apa
yang harus dilakukan. Akhirnya, mereka berdua berangkat menuju Gunung Jati
menemui Syekh Nurjati selama tiga hari tiga malam. Di tempat Syekh Nurjati
mereka menerima wejangan-wejangan yang berharga. Antara lain, Syekh Nurjati
berkata:
”Ketahuilah
bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada
seorangpun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena
penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu,
kalau ia melepaskan perbuatannya itu. Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir
zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga
diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan
sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau
jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha. Baiklah engkau
sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan
petunjuk dari beliau untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk beliau, karena
pada saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman,
ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syekh Quro di Karawang. Mereka berdua
masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit.
Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak, datanglah kepada beliau
terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang Jawa harus saling menghargai,
menghormati antara golongan tua dan muda. Selain itu, dalam usahamu nanti
janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan
sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara,
yakni syare’at hakekat, tarekat, dan ma’rifat” (22).
Demikian
wejangan dari Syekh Nurjati kepada Syarif Hidayatullah. Syekh Nurjati adalah
tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh yang lain
adalah Maulana Magribi, Pangeran Makdum, Maulana Pangeran Panjunan, Maulana
Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh Lemah
Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada
suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, di bawah pimpinan
Syekh Nurjati. Mereka semua murid-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut
Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muridnya:
”Wahai
murid-muridku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita
laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah.
Bagaimanakah pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita
membentuk masyarakat Islamiyah itu?” (23).
Para
murid dalam anggota sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif
Hidayatullah berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat Islam sebaiknya
diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan
teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati
segera dilaksanakan (24). Sidang inilah yang menjadi dasar
dibentuknya organisasi dakwah dewan Wali Songo.
Sebelum
meninggal dunia, Syekh Nurjati berwasiat kepada anak bungsunya, Syekh
Khafid, “Ana sira ana ingsun”, yang artinya ada kamu ada saya.
Maksudnya adalah Syekh Nurjati berpesan bahwa Syekh Khafid adalah pengganati
Syekh Nurjati apabila berhalangan. Wasiat inilah yang memperkuat anggapan bahwa
seolah-olah Syekh Datuk Khafid adalah orang yang sama dengan Syekh Datul
Kahfi(25).
Beberapa
saat kemudian Syarif Hidayatullah menggantikan Syekh Datuk Kahfi/Syekh Nurjati
yang meninggal dunia (26). Syarif Hidayatullah ketika menggantikan
kedudukan sebagai guru dan da’i di Amparan Jati diberi julukan Syekh Maulana
Jati, disingkat Syekh Jati.
Semasa
hidupnya Syekh Nurjati senantiasa mengamanati setiap santri yang akan
meninggalkan Pangguron, dengan perkataan’’settana’’ artinya pegang
teguhlah semua pelajaran yang diperoleh dari pengguron Islam Gunung Jati,
jangan sampai lepas. Sejak saat itu orang menamakan Kampung Pesambangan
dengan nama Settana Gunung Jati. Namun karena pada akhirnya Gunung
Jati itu digunakan untuk pemakaman, terutama makam Syekh Nurjati sendiri, maka
penduduk Jawa Barat yang sebagian besar berbahasa Sunda, sebutansettana diganti
menjadi astana yang artinya kuburan. Walaupun
demikian, penduduk yang berbahasa Jawa Cirebon masih banyak yang
menyebutnya settana. Dengan demikian Kampung Pesambangan yang
mencakup Gunung Jati sampai sekarang dinamakan Kampung atauDesa Astana.
Sebagai
bukti penghormatan umat Islam, yang berziarah ke Astana (baik ke komplek
pemakaman Gunung Jati maupun komplek pemakaman Gunung
Mursahadatillah,
dan secara khusus disampaikan kepada ruh pemimpin dan penghulu kami Syekh
Datul Kahfi, dan kepada ruh Syekh Bayanillah, dan kepada seluruh ruh para wali,
sultan, ahli kubur yang disemanyamkan di Gunung Jati dan Gunung Sembung, dan
orang tua mereka, para pendoa mereka, dan orang-orang yang mengambil pelajaran
dari mereka, Yaa Allah ….tolonglah kami semua dengan perantaraan (izin Allah,
akan kemuliaan mereka, aku memohon (hanya) kepada Engkau, (memohon) barokah,
syafaat, karomah (kemuliaan), ijasah (kelulusan dan pengakuan), dan
keselamatan, segala sesuatu hanya milik Allah, bagi mereka Fatihah.
Kalau
kita simak doa tersebut, maka ada penghormatan terhadap :
1.
Sunan
Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
2.
Nyi
Mas Ratu Rarasantang (Syarifah Mudaim, ibunda Sunan Gunung Jati, Pendiri
Caruban)
3.
Syarifah
Bagdad/ Fatimah (Nyi Mas Penatagama Pesambangan, istri Sunan Gunung Jati, putri
Syekh Nurjati)
4.
Pangeran
Cakrabuana (paman Syarif Hidayatullah, pendiri Caruban)
5.
Syekh
Quro/ Syekh Hasanudin (Syekh Mursahadatillah, pendiri Pondok Pesantren
Karawang, Sahabat Syekh Nurjati )
6.
Syekh
Nurjati (Syekh Datul Kahfi, guru Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu
Rarasantang dan mertua Sunan Gunung Jati)
7.
Syekh
Bayanillah (adik Syekh Datul Kahfi, pendiri Pondok Pesantren di Kuningan)
Kita
bisa mencermati bahwa doa tersebut diatas ditujukan kepada sekelompok
elit ulama perintis dakwah Islamiah di Cirebon.
Gapura
Bersayap di Pintu Makam Syekh Nurjati
Syekh
Nurjati meninggal dan dimakamkan di Gunung Jati. Sedangkan Syarif Hidayatullah
meninggal di Gunung Jati sehingga disebut Sunan Gunung Jati, namun dimakamkan
di Gunung Sembung, sebelah barat Gunung Jati.
Gapura
bersayap di pintu makam Syekh Nurjati adalah sebagai penanda masuknya
agama Islam di Cirebon. Model gapura ini merupakan salah satu karya adi
luhung orang Cirebon, pada awal abad ke 15-17 Masehi. Karya adi luhung ini merupakan
karya dekoratif yang sebenarnya lumrah di pesisir pantai utara Jawa.
Pintu
yang ada di gapura bersayap Syekh Nurjati ini dapat melambangkan kematian.
Artinya maut adalah gerbang yang akan dilalui oleh setiap manusia
(ruh)
untuk mencapai kehidupan berikutnya yang abadi. Pemaknaan pintu sebagi lambang
kematian merupakan gambaran yang sangat tepat dan sesui dengan peribahasa Arab
yang berbunyi : “ al mautu babun wa kullunaasi dakhiluhu”, maut
adalah pintu dan setiap orang akan memasukinya.
Jika
pintu bermakna kematian, maka gapura bersayap bisa menjadi makna perlambang
bagi Malaikat Izrail. Artinya, kematian bisa disebut kematian yang sesungguhnya
jika ruh seseorang sudah dibawa malaikat Izrail dan menurut Al Quran bahwa para
malaikat itu bersayap (27).
Sumur
Jalatunda
Di
Pesambangan terdapat dua sumur tua peninggalan Syekh Nurjati, yakni sumur
Jalatunda dan sumur Tegangpati. Sumur diartikan sebagai kirata basa :
seumur atau sepanjang kehidupan. ”Jala” dari bahasa Arab ”jalla” yang berarti
luhur atau agung, ”tundha” artinya titipan, sedangkan ”tegangpati” berarti
serah jiwa (28).
https://info.syekhnurjati.ac.id/profil/biografi-syekh-nurjati/