Nama lengkapnya adalah Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi as-Syafi’i
al-Ghazali. Secara singkat dipanggil al-Ghazali atau Abu Hamid al-Ghazali. Dan
mendapat gelar imam besar Abu Hamid al-Ghazali Hujatul Islam.
Namanya kadang diucapkan Ghazzali
(dua z), artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah beliau adalah
tukang pintal benang wol. Sedang yang lazim ialah Ghazali (satu z), diambil
dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya.
Beliau lahir di Thus,
Khurasan, Iran, dekat Masyhad sekarang, pada tahun 450 H/1058 M. Beliau dan
saudaranya, Ahmad, ditinggal yatim pada usia dini. Pendidikannya dimulai di
Thus. Lalu, al-Ghazali pergi ke Jurjan.
Dan sesudah satu periode
lebih lanjut di Thus, beliau ke Naisabur, tempat beliau menjadi murid
al-Juwaini Imam al-Haramain hingga meninggalnya yang terakhir pada tahun 478
H/1085 M. Beberapa guru lain juga disebutkan, tapi kebanyakan tidak jelas. Yang
terkenal adalah Abu Ali al-Farmadhi.
Al-Ghazali adalah ahli
pikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam),
“Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan
lain-lain. Riwayat hidup dan pendapat-pendapat beliau telah banyak diungkap dan
dikaji oleh para pengarang baik dalam bahasa Arab, bahasa Inggris maupun bahasa
dunia lainnya, termasuk bahasa Indonesia. Hal itu sudah selayaknya bagi para
pemikir generasi sesudahnya dapat mengkaji hasil pemikiran orang-orang
terdahulu sehingga dapat ditemukan dan dikembangkan pemikiran-pemikiran baru.
Dalam pengantar Ihya’
Ulumuddin disebutkan bahwa : “Pada abad ke 5 H lahirlah beberapa ilmu dari
pemikir Islam, yaitu Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al- Ghazali.”
Sebelum meninggal ayah
al-Ghazali berwasiat kepada seorang ahli tasawuf temannya, supaya mengasuh dan
mendidik al-Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah ayahnya meninggal, maka hiduplah
al-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawuf itu.
Harta pusaka yang
diterimanya sedikit sekali. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha
sendiri bertenun kain bulu (wol), disamping itu, selalu mengunjungi rumah para
alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada
mereka. Apabila mendengar uraian para ulama itu maka ayah al-Ghazali menangis
tersedu-sedu seraya memohon kepada Allah SWT kiranya beliau dianugerahi seorang
putra yang pandai dan berilmu.
Pada masa kecilnya
al-Ghazali mempelajari ilmu Fiqh di negerinya sendiri pada Syeh Ahmad bin
Muhammad ar-Razikani. Kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar pada Imam Ali
Nasar al-Ismaili. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negeri tersebut,
berangkatlah al-Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam al-Haramain.
Disanalah mulai kelihatan
tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu
pengetahuan pokok pada masa itu, seperti ilmu Mantik (logika), Filsafat dan
Fiqh Mazhab Syafi’i. Setelah Imam al-Haramain wafat, lalu al-Ghazali berangkat
ke al- Askar mengunjungi menteri Nizamul Mulk dari pemerintahan Dinasti Saljuk.
Beliau disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian
dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka-pemuka ilmu pengetahuan.
Semuanya mengakui akan ketinggian dan keahlian al-Ghazali.
Pada tahun 484 H/1091 M,
beliau diutus oleh Nizamul Mulk untuk menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah,
yang didirikan di Baghdad. Beliau menjadi salah satu orang yang terkenal di
Baghdad, dan selama empat tahun beliau memberi kuliah kepada lebih dari 300
mahasiswa. Pada saat yang sama, beliau menekuni kajian Filsafat dengan penuh
semangat lewat bacaan pribadi dan menulis sejumlah buku.
Atas prestasinya yang kian
meningkat, pada usia 34 tahun beliau diangkat menjadi pimpinan (rektor)
Universitas Nizhamiyah. Selama menjadi rektor, beliau banyak menulis buku yang
meliputi beberapa bidang Fiqh, Ilmu Kalam dan buku-buku sanggahan terhadap
aliran-aliran Kebatinan, Ismailiyah dan Filsafat.
Al-Ghazali telah mengarang
sejumlah besar kitab pada waktu mengajar di Baghdad, seperti Al-Basith,
Al-Wasith, Al-Wajiz dan Al-Khalasah Fi Ilmil Fiqh. Seperti juga kitab-kitab
Al-Munqil Fi Ilmil Jadl, Ma’khudz Al- Khilaf, Lubab Al-Nadhar, Tahsin
Al-Maakhidz dan Mabadi’ Wal Ghāyat Fi Fannil Khilaf. Sekalipun mengarang beliau
tidak lupa berpikir dan meneliti hal-hal dibalik hakikat. Beliau tidak
ragu-ragu mengikuti ulama yang benar, yang tidak seorangpun berpikir mengenai
kekokohan kesahannya atau untuk meneliti sumber pengambilannya. Pada waktu itu
beliau juga mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi
rektor di Universitas Nizhamiyah. Setelah itu beliau mulai mengalami krisis
rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Secara
diam-diam beliau meninggalkan Baghdad menuju Syam, agar tidak ada yang
menghalangi kepergiannya baik dari penguasa (khalifah) maupun sahabat dosen
seuniversitasnya. Al-Ghazali berdalih akan pergi ke Makkah untuk melaksanakan
ibadah haji. Dengan demikian, amanlah dari tuduhan bahwakepergiannya untuk
mencari pangkat yang lebih tinggi di Syam. Pekerjaanmengajar ditinggalkan dan
mulailah beliau hidup jauh dari lingkunganmanusia, zuhud yang beliau tempuh.
Pada tahun 488 H, beliau
mengisolasi diri di Makkah lalu keDamaskus untuk beribadah dan menjalani
kehidupan sufi. Beliaumenghabiskan waktunya untuk khalwat, ibadah dan
i’tikaf di sebuah masjid diDamaskus. Berzikir sepanjang hari di menara. Untuk
melanjutkan taqarubnyakepada Allah SWT beliau pindah ke Baitul Maqdis. Dari
sinilah beliautergerak hatinya untuk memenuhi panggilan Allah SWT untuk
menjalankanibadah haji. Dengan segera beliau pergi ke Makkah, Madinah dan
setelahziarah ke makam Rasulullah SAW dan nabi Ibrahim A.S.,
ditinggalkanlahkedua kota tersebut dan menuju ke Hijaz.
Dari Bait Al-Haram,
al-Ghazali menuju ke Damsyik. Al-Maqrizi,dalam Al-Muqaffa, mengatakan :Ketika
di Damsyik, al-Ghazali beri’tikad di sudut menara masjid Al-Umawi dengan
memakai baju jelek. Di sini beliau mengurangi makan,minum, pergaulan dan mulai
menyusun kitab Ihya’ Ulumuddin. Al-Ghazaliputar-putar untuk berziarah ke
makam-makam para syuhada’ dan masjidmasjid.Beliau mengolah diri untuk selalu
bermujahadah danmenundukkannya untuk selalu beribadah hingga
kesukaran-kesukaran yangdihadapinya menjadi persoalan biasa dan mudah.
Setelah mengabdikan diri
untuk ilmu pengetahuan berpuluh-puluhtahun dan setelah memperoleh kebenaran
yang hakiki pada akhir hidupnya,beliau meninggalkan dunia di Thus pada 14
Jumadil Akhir 505 H/19Desember 1111 M, dihadapan adiknya, Abu Ahmadi
Mujidduddin. Beliau meninggalkan tiga orang anak perempuan sedang anak
laki-lakinya yangbernama Hamid telah meninggal dunia semenjak kecil sebelum
wafatnya (al-Ghazali), karena itulah beliau diberi gelar “Abu Hamid”