Madrasah Aliyah Nurussyahid (MANUSA) adalah Sekolah Menengah Atas Setingkat SMA/SMK, Yang berdiri 2013 dengan Unggulan Magang dan Mahir Bahasa Jepang


Niat yang baik akan menghasilkan prasangka yang baik, Prasangka yang baik akan menghasilkan Aqidah yang baik dan Aqidah yang baik akan menghasilkan Akhir yang baik (Khusnul Khotimah). Hidup ini adalah Perjuangan, perjuangan perlu pengorbanan, pengorbanan perlu kecintaan, kecintaan perlu kesungguhan dalam Do'a dan Ikhtiar yang seimbang. kecintaan perlu keikhlasan dan keikhlasan perlu kesabaran, maka Allah berfirman Jadikan Sabar dan Sholat sebagai penolongmu melalui petunjuk sang Guru Mursyid.

2019/06/30

SEJARAH AWAL BERDIRI, KEHIDUPAN POLITIK, SOSIAL BUDAYA, EKONOMI, MASA KEEMASAN DAN KERUNTUHAN KERAJAAN DEMAK BINTORO

SEMAKIN DALAM KITA MENGETAHUI SUATU SEJARAH MAKA AKAN SEMAKIN MEDALAM DALAM MEMAKNAI  VISI DAN MISI HIDUP INI

 Foto Masjid Agung Demak

Video Tentang Sejarah Kerajaan Demak

Prof Dr KH Said Aqil Siradj - Sejarah Kerajaan Demak Hingga Islam Berkembang Pesat (Saat Berceramah di Negara Korea)


SEJARAH AWAL BERDIRI, KEHIDUPAN POLITIK, SOSIAL BUDAYA, EKONOMI, MASA KEEMASAN DAN KERUNTUHAN KERAJAAN DEMAK BINTORO

BAB I  PENDAHULUAN 
1.1  Latar Belakang
Penyebaran agama Islam di Indonesia dimulai dari para bangsa Arab, Cina, dan Persia yang datang ke Indonesia dengan tujuan untuk berdagang. Dalam perjalanannya menuju Indonesia, para pedagang mengalami banyak proses disetiap daerah, terutama di Pulau Jawa. Agama Islam berangsur-angsur berkembang menjadi agama paling besar di Jawa karena dibeberapa titik temu perdagangan laut Internasional terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi, penyebaran Islam di Jawa dibawa para pedagang melalui jalur laut. Meluasnya penyebaran agama Islam dengan menyerang dan merebut kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Menjelang akhir abad ke-15 seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Runtuhnya Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu di Pulau Jawa berganti dengan berdirinya Kerajaan Demak yang menyebarluaskan agama Islam di Pulau Jawa.
Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari Kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit. Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya

1.2  Rumusan Masalah
1.  Bagaimanakah awal dan letak berdirinya Kerajaan Demak?
2.Bagaimana kehidupan politik, sosial budaya dan ekonomi Kerajaan Demak?
3.Bagaimana Kerajaan Demak dapat mengalami Masa Keemasan?        
4.  Apa penyebab keruntuhan Kerajaan Demak?

1.3  Tujuan Penulisan
Mengulas, mengungkap serta membahas kembali mengenai munculnya Kerajaan Demak di Pulau Jawa. Dan memberikan gambaran mengenai masuknya Islam pada masa Kerajaan Demak

1.4  Manfaat Penulisan
Agar menjadi bahan acuan bagi pembaca ketika akan menulis karya ilmiah yang benar dan sistematis. Dan memberi pengetahuan kepada setiap pembaca mengenai Kerajaan Demak.

1.5  Metode dan Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode tinjauan pustaka sebagai acuan analisa yang berlangsung. Sebagai rujukan, penulis mengkaji beberapa buku yang membahas tentang Kerajaan Demak, ditambah lagi dengan beberapa artikel yang peroleh dari website. Dan makalah ini bersifat deskriptif analisis.
Sistematika penulisan makalah diawali dengan Bab I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode dan sistematika penulisan. Bab II Pembahasan, merupakan inti makalah yang membahas tentang masuknya Islam pada masa Kerajaan Demak. Dan diakhiri dengan Bab III Penutup.

BAB II  PEMBAHASAN

2.1  Awal Kerajaan Demak
Awal berdirinya Kerajaan Demak dimulai dari runtuhnya kerajaan Majapahit yangdiberi tanda Candra Sengkala: Sirna hilang Kertaning Bumi, yang berarti tahun saka 1400 atau 1478 M yang disebabkan karena perang saudara sehingga wilayah kekuasaannya memisahkan diriSementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Demak, dan berdiri pada tahun 1478 M, oleh Raden Fatah.  Dari gelarnya, yaitu raden, dapat diduga ia bertalian darah dengan penguasa lama.
Pada awal abad ke-14, Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming di China mengirimkan seorang putri kepada raja Brawijaya V di Majapahit, sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik jelita dan pintar ini segera mendapat tempat istimewa di hati raja. Raja Brawijaya sangat tunduk kepada semua kemauan sang putri jelita, hingga membawa banyak pertentangan dalam istana Majapahit. Pasalnya sang putri telah berakidah tauhid. Saat itu, Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal dari Champa (sekarang bernama Kamboja), masih kerabat Raja Champa. Sang permaisuri memiliki ketidakcocokan dengan putri pemberian Kaisar Yan Lu. Akhirnya dengan berat hati raja menyingkirkan putri cantik ini dari istana. Dalam keadaan mengandung sang putri dihibahkan kepada adipati Pelembang, Arya Damar. Raden Fatah dilahirkan dari rahim sang putri Cina di Palembang. Nama kecil Raden Fatah adalah pangeran Jimbun. Karena Arya Damar sudah masuk Islam maka Raden Fatah dididik secara Islam, sehingga jadi pemuda yang taat beragama Islam.  
Pada masa mudanya Raden Fatah memperoleh pendidikan yang berlatarbelakang kebangsawanan dan politik, 20 tahun lamanya ia hidup di istana Adipati Palembang.
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen (Adik Tiri Raden Fatah). Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren.
Semakin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah. Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya (diidentifikasi sebagai Brawijaya V) merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Menurut kronik Cina, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo (ejaan China untuk Bintoro).

2.2  Letak Kerajaan Demak
Kerajaan Demak bernama Bintoro yang merupakan daerah vasal atau bawahan Kerajaan Majapahit. Kekuasaan pemerintahannya diberikan kepada Raden Fatah (dari kerajaan Majapahit) yang ibunya menganut agama Islam dan berasal dari Jeumpa (Daerah Pasai). Letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman dahulu wilayah Demak terletak di tepi selat di antara Pegunungan Muria dan Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang.
Tetapi sudah sejak abad XVII jalan pintas itu tidak dapat dilayari setiap saat. Pada abad XVI agaknya Demak telah menjadi gudang padi dari daerah pertanian di tepian selat tersebut. Konon, kota Juwana merupakan pusat seperti itu bagi daerah tersebut pada sekitar 1500. Tetapi pada sekitar 1513 Juwana dihancurkan dan dikosongkan oleh Gusti Patih, panglima besar Kerajaan Majapahit yang bukan Islam. Ini kiranya merupakan perlawanan terakhir kerajaan yang sudah tua itu. Setelah jatuhnya Juwana, Demak menjadi penguasa tunggal di sebelah selatan Pegunungan Muria. Yang menjadi penghubung antara Demak dan Daerah pedalaman di Jawa Tengah ialah Sungai Serang (dikenal juga dengan nama-nama lain), yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara. Hasil panen sawah di daerah Demak rupanya pada zaman dahulu pun sudah baik. Kesempatan untuk menyelenggarakan pengaliran cukup. Lagi pula, persediaan padi untuk kebutuhan sendiri dan untuk pergadangan masih dapat ditambah oleh para penguasa di Demak tanpa banyak susah, apabila mereka menguasai jalan penghubung di pedalaman Pegging dan Pajang.

2.3  Raja- Raja Kerajaan Demak
Ketika kerajaan Majapahit mulai mundur, banyak bupati yang ada didaerah pantai utara Pulau Jawa melepaskan diri. Berdirilah Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak adalah sebagai berikut.
a.  Raden Fatah
Raden Fatah memerintah Demak dari tahun 1500-1518 M. Di bawah pemerintahan Raden Patah, Kerajaan Demak berkembang dengan pesat karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil beras. Oleh karena itu, Kerajaan Demak menjadi kerajaan agraris-maritim.
Pada masa pemerintahan Raden Fatah, wilayah kekuasaan Kerajaan Demak meliputi daerah Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan.
Kerajaan Demak juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan, dan Gresik yang berkembang menjadi pelabuhan Transito (penghubung). Kerajaan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Jasa para Wali dalam penyebaran agama Islam sangatlah besar, baik di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah diluar Pulau Jawa, seperti di daerah Maluku yang dilakukan oleh Sunan Giri, di daerah Kalimantan Timur yang dilakukan oleh seorang penghulu dari Demak yang bernama Tunggang Parangan.
Pada masa pemerintahan Raden Fatah, dibangun Masjid Demak yang proses pembangunan masjid itu dibantu oleh para wali atau sunan. Raden Fatah tampil sebagai raja pertama Kerajaan Demak. Ia  menaklukan Kerajaan Majapahit dan memindahkan seluruh benda upacara dan pusaka Kerajaan Majapahit ke Demak. Tujuannya, agar lambang Kerajaan Majapahit tercermin dalam Kerajaan Demak.
b. Adipati Unus
Setelah Raden Fatah wafat, tahta Kerajaan Demak dipegang oleh Adipati Unus adalah putra sulung dari Radern Patah. Ia memerintah Demak dari tahun 1518-1521 M. Masa pemerintahan Adipati Unus tidak begitu lama, karena ia meninggal dalam usia yang masih muda dan tidak meninggalkan seorang putera mahkota. Adipati unus meninggal saat melakukan peryerbuan ke Malaka melawan Portugis.
Sejak tahun 1509 Adipati Unus anak dari Raden Fatah, telah bersiap untuk menyerang Malaka. Namun pada tahun 1511 telah didahului Portugis tetapi Adipati Unus tidak mengurungkan niatnya.
Pada tahun 1512, Demak mengirimkan armada perangnya menuju Malaka. Namun setalah armada sampai dipantai Malaka, armada pangeran Sabrang Lor dihujani meriam oleh pasukan portugis yang dibantu oleh menantu Sultan Mahmud, yaitu Sultan Abdullah raja dari Kampar. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1521 oleh pangeran Sabrang Lor atau Adipati Unus. Tetapi kembali gagal, padahal kapal telah direnofasi dan menyesuaikan medan. Selain itu, dia berhasil mengadakan perluasan wilayah kerajaan. Dia menghilangkan Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, yang pada saat itu sebagian wilayahnya menjalin kerjasama dengan orang-orang Portugis. Adipati Unus (Patih Yunus) wafat pada tahun 938 H/1521 M
      c.   Sultan Trenggana
    Sulltan Trenggana memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. Dibawah pemerintahannya, Kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah Jawa Barat.
    Pada tahun 1522 M, Kerajaan Demak mengirim pasukannya ke Jawa Barat dibawah pimpinan Fatahillah. Daerah-daerah yang berhasil dikuasainya antara lain Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Penguasaan terhadap daerah ini bertujuan untuk menggagalkan hubungan antara Portugis dan Kerajaan Padjajaran. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh armada Demak pimpinan Fatahillah. Dengan kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (berarti kemenangan penuh).Peristiwa yang terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M itu kemudian diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta.
    Dalam usaha memperluas kekuasaannya ke Jawa Timur, Sultan Trenggana memimpin sendiri pasukannya. Satu persatu daerah Jawa Timur berhasil dikuasai, seperti Maduin, Gresik, Tuban dan Malang. Akan tetapi, ketika menyerang Pasuruan 953 H/1546 M Sultan Trenggana gugur. Usahanya untuk memasukan kota pelabuhan yang kafir itu ke wilayahnya dengan kekerasan ternyata gagal. Dengan demikian, maka Sultan Trenggana berkuasa selama 42 tahun. Di masa jayanya, Sultan Trenggana berkunjung kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan Gunung Jati, Trenggana memperoleh gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu sebelumnya telah diberikan kepada Raden Fatah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan Majapahit.

2.4  Peristiwa Penting Kerajaan Demak
    Perang saudara ini berawal dari meninggalnya anak sulung Raden Fatah yaitu Adipati Unus yang manjadi putra mahkota. Akhirnya terjadi perebutan kekuasaan antara anak-anak dari Raden Fatah. Persaingan ketat anatara Sultan Trenggana dan Pangeran Seda Lepen (Kikin). Akhirnya Kerajaan Demak mampu dipimpin oleh Trenggana dengan menyuruh anaknya yaitu Prawoto untuk membunuh pangeran Seda Lepen. Dan akhirnya Sultan Trenggana manjadi sultan kedua di Demak. Pada masa kekuasaan Sultan Trenggana (1521-1546), Demak mencapai puncak keemasan dengan luasnya daerah kekuasaan dari Jawa Barat sampai Jawa timur. Hasil dari pemerintahannya adalah Demak memiliki benteng bawahan di barat yaitu di Cirebon. Tetapi Kesultanan Cirebon akhirnya tidak tunduk setelah Demak berubah menjadi Kesultanan Pajang.
    Sultan Trenggana meninggalkan dua orang putra dan empat putri. Anak pertama perempuan dan menikah dengan Pangeran Langgar, anak kedua laki-laki, yaitu sunan prawoto, anak yang ketiga perempuan, menikah dengan pangeran Kalinyamat, anak yang keempat perempuan, menikah dengan pangeran dari Cirebon, anak yang kelima perempuan, menikah dengan Jaka Tingkir, dan anak yang terakhir adalah Pangeran Timur. Arya Penangsang Jipang telah dihasut oleh Sunan Kudus untuk membalas kematian dari ayahnya, Raden Kikin atau Pangeran Sedo Lepen pada saat perebutan kekuasaan. Dengan membunuh Sunan Prawoto, Arya Penangsang bisa menguasai Demak dan bisa menjadi raja Demak yang berdaulat penuh. Pada tahun 1546 setelah wafatnya Sultan Trenggana secara mendadak, anaknya yaitu Sunan Prawoto naik tahta dan menjadi raja ke-3 di Demak. Mendengar hal tersebut Arya Penangsang langsung menggerakan pasukannya untuk menyerang Demak. Pada masa itu posisi Demak sedang kosong armada. Armadanya sedang dikirim ke Indonesia timur. Maka dengan mudahnya Arya Penangsang membumi hanguskan Demak. Yang tersisa hanyalah masjid Demak dan Klenteng. Dalam pertempuran ini tentara Demak terdesak dan mengungsi ke Semarang, tetapi masih bisa dikejar. Sunan Prawoto gugur dalam pertempuran ini. Dengan gugurnya Sunan Prawoto, belum menyelesaikan masalah keluarga ini. Masih ada seseorang lagi yang kelak akan membawa Demak pindah ke Pajang, Jaka Tingkir. Jaka Tingir adalah anak dari Ki Ageng Pengging bupati di wilayah Majapahit di daerah Surakarta. 
    Dalam babad tanah jawi, Arya Penangsang berhasil membunuh Sunan Prawoto dan Pangeran Kalinyamat, sehingga tersisa Jaka Tingkir. Dengan kematian Kalinyamat, maka janda dari pangeran Kalinyamat membuat sayembara. Siapa saja yang bisa membunuh Arya Penangsang, maka dia akan mendapatkan aku dan harta bendaku. Begitulah sekiranya tutur kata dari Nyi Ratu Kalinyamat. Mendengar hal tersebut Jaka Tingkir menyanggupinya, karena beliau juga adik ipar dari Pangeran Kalinyamat dan Sunan Prawoto. Jaka Tingkir dibantu oleh Ki Ageng Panjawi dan Ki Ageng Pamanahan. Akhirnya Arya Panangsang dapat ditumbangkan dan sebagai hadiahnya Ki Ageng Panjawi mendapatkan hadiah tanah pati, dan Ki Ageng Pamanahan mendapat tanah mataram.

2.5  Kehidupan Ekonomi
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya, bahwa letak Demak sangat strategis di jalur perdagangan nusantara memungkinkan Demak berkembang sebagai kerajaan maritim. Dalam kegiatan perdagangan, Demak berperan sebagai penghubung antara daerah penghasil rempah di Indonesia bagian Timur dan penghasil rempah-rempah Indonesia bagian barat. Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang. Dan hal ini juga didukung oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir pantai Pulau Jawa. Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi komoditi dagang. Dengan demikian kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi.

2.6  Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama dan budaya Islam karena pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam di Pulau Jawa. Sebagai pusat penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonar. Para wali tersebut memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan Kerajaan Demak bahkan para wali tersebut menjadi penasehat bagi raja Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat antara raja/bangsawan/para wali/ulama dengan rakyat. Hubungan yang erat tersebut, tercipta melalui pembinaan masyarakat yang diselenggarakan di Masjid maupun Pondok Pesantren. Sehingga tercipta kebersamaan atau Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan diantara orang-orang Islam).
Demikian pula dalam bidang budaya banyak hal yang menarik yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Demak. Salah satunya adalah Masjid Demak, dimana salah satu tiang utamanya terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang disebut Soko Tatal. Masjid Demak dibangun atas pimpinan Sunan Kalijaga. Di serambi depan Masjid (pendopo) itulah Sunan Kalijaga menciptakan dasar-dasar perayaan Sekaten (Maulud Nabi Muhammad saw) yang sampai sekarang masih berlangsung di Yogyakarta dan Cirebon. Hal tersebut menunjukan adanya akulturasi kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Islam.
Setelah Demak berkuasa kurang lebih setengah abad, ada beberapa hasil peradaban Demak yang sampai saat ini masih dapat dirasakan.
1.  Sultan Demak, Senopati Jimbun pernah menyusun suatu himpunan undang-undang dan peraturan di bidang pelaksanaan hukum. Namanya: Salokantara, sebagai kitab hukum, maka didalamnya antara lain menerangkan tentang pemimpin keagamaan yang pernah menjadi hakim. Mereka disebut dharmahyaksa dan kertopapatti.
2.  Gelar pengulu (kepala), juga sudah dipakai disana, yang sudah dipakai Imam di Masjid Demak. Hal in juga terkait dengan orang yang terpenting disana, yaitu nama Sunan Kalijaga. Kata Kali berasal dari bahasa Arab Qadli, walaupun hal itu juga dikaitkan dengan nama sebuah sungai kecil, Kalijaga di Cirebon. Ternyata istilah Qadli, pada masa-masa selanjutnya dipakai oleh imam-imam masjid.
3.  Bertambahnya bangunan-bangunan militer di Demak dan ibukota lainnya di Jawa pada abad XVI.
4.  Peranan penting Masjid Demak sebagai pusat peribadatan Kerajaan Islam pertama di Jawa. Dengan Masjid, umat Islam di Jawa dapat mengadakan hubungan dengan pusat-pusat Islam Internasional di luar negeri (di Tanah Suci, maka dengan kekhalifahan Ustmaniyah di Turki).
5.  Munculnya kesenian seperti wayang orang, wayang topeng, gamelan, tembang macapat, pembuatan keris, dan hikayat-hikayat Jawa yang dipandang sebagai penemuan para wali yang sezaman dengan Kerajaan Demak.
6.  Perkembangan sastra Jawa yang terpusat di bandar-bandar pantai utara dan pantai timur Jawa yang mungkin sebelumnya tidak di Islami, maupun pada masa-masa selanjutnaya “di Islamkan”.
7.  Kemajuan Kerajaan Demak dalam berbagai bidang tidak bisa dilepaskan dari peran serta Islam dalam menyusun dan membentuk pondasi Kemasyarakatan Demak yang lebih Unggul. Disamping itu peran serta para pemimpin dan para Wali juga turut membantu kejayaan Kerajaan Demak.

2.7  Masa Keemasan Kerajaan Demak
    Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya untuk menyerang Portugis di Malaka. Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546).
Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu adalahFatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati diperintah oleh Trenggana untuk menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.

2.8  Keruntuhan Kerajaan Demak
Setelah wafatnya Sultan Trenggana menimbulkan kekacauan politik yang hebat di keraton Demak. Negeri-negeri bagian (kadipaten) berusaha melepaskan diri dan tidak mengakui lagi kekuasaan Demak. Di Demak sendiri timbul pertentangan di antara para waris yang saling berebut tahta. Orang yang seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trengggana adalah pengeran Sekar Seda Ing Lepen. Namun, ia dibunuh oleh Sunan Prawoto yang berharap dapat mewarisi tahta kerajaan. Adipati Jipang yang beranama Arya Penangsang, anak laki-laki Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, tidak tinggal diam karena ia merasa lebih berhak mewarisi tahta Demak. Sunan Prawoto dengan beberapa pendukungnya berhasil dibunuh dan Arya Penangsang berhasil naik tahta. Akan tetapi, Arya Penangsang tidak berkuasa lama karena ia kemudian di kalahkan oleh Jaka Tingkir yang di bantu oleh Kiyai Gede Pamanahan dan putranya Sutawijaya, serta Ki Penjawi. Jaka tingkir naik tahta dan penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi raja, ia bergelar Sultan Handiwijaya serta memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang pada tahun 1568.
Sultan Handiwijaya sangat menghormati orang-orang yang telah berjasa. Terutama kepada orang-orang yang dahulu membantu pertempuran melawan Arya Penangsang. Kyai Ageng Pemanahan mendapatkan tanah Mataram dan Kyai Panjawi diberi tanah di Pati. Keduanya diangkat menjadi bupati di daerah-daerah tersebut.
Sutawijaya, putra Kyai Ageng Pemanahan diangkat menjadi putra angkat karena jasanya dalam menaklukan Arya Penangsang. Ia pandai dalam bidang keprajuritan. Setelah Kyai Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575, Sutawijaya diangkat menjadi penggatinya.
Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya wafat. Putranya yang bernama Pangeran Benawa diangkat menjadi penggantinya. Timbul pemberontakan yang dilakukan oleh Arya Panggiri, putra Sunan Prawoto, ia merasa mempunyai hak atasa tahta Pajang. Pemberontakan itu dapat digagalkan oleh Pangeran Benawan dengan bantuan Sutawijaya.
Pengeran Benawan menyadari bahwa dirinya lemah, tidak mampu mengendalikan pemerintahan, apalagi menghadapi musuh-musuh dan bupati-bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Pajang kepada saudara angkatnya, Sutawijaya pada tahun 1586. Pada waktu itu Sutawijaya telah menjabat bupati Mataram, sehingga pusat kerajaan Pajang dipindahkan ke Mataram.

2.9  Peninggalan  Kerajaan Demak
Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa, didirikan Wali Sembilan atau Wali Songo. Lokasi Masjid berada di pusat kota Demak, berjarak + 26 km dari Kota Semarang, + 25 km dari Kabupaten Kudus, dan + 35 km dari Kabupaten Jepara.
Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak. Struktur bangunan masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan berwibawa. Kini Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah. 
Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Raden Fattah bersama Wali Songo mendirikan Masjid Maha karya abadi yang karismatik ini dengan memberi prasasti bergambar bulus. Ini merupakan Condro Sengkolo Memet, dengan arti Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri dari kepala yang berarti angka 1 ( satu ), kaki 4 berarti angka 4 ( empat ), badan bulus berarti angka 0 ( nol ), ekor bulus berarti angka 1 ( satu ). Bisa disimpulkan, Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
Di museum ini utamanya disimpan bagian-bagian soko guru yang rusak (sokoguru Sunan Kalijaga, sokoguru Sunan Bonang, sokoguru Sunan Gunungjati, sokoguru Sunan Ampel), sirap, kentongan dan bedug peninggalan para wali, dua buah gentong (tempayan besar) dari Dinasti Ming hadiah dari Putri Campa abad XIV, pintu bledeg buatan Ki Ageng Selo yang merupakan condrosengkolo berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani yang berarti angka tahun 1388 Saka atau 1466 M atau 887 H, foto-foto Masjid Agung Demak tempo dulu, lampu-lampu dan peralatan rumah tangga dari kristal dan kaca hadiah dari PB I tahun 1710 M, kitab suci Al-Qur’an 30 juz tulisan tangan, maket masjid Demak tahun 1845 – 1864 M, beberapa prasasti kayu memuat angka tahun 1344 Saka, kayu tiang tatal buatan Sunan Kalijaga, lampu robyong masjid Demak yang dipakai tahun 1923 – 1936 M.
Peninggalan Kerajaan Demak yang masih tersimpan di Museum Masjid Agung meliputi:
1. Soko Majapahit, tiang ini berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda purbakala hadiah dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden Fattah ketika menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.
2.  Pawestren, merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap ( genteng dari kayu ) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, di mana 4 diantaranya berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang menerakan tahun 1866 M.
3.  Surya Majapahit, merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa Majapahit. Para ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.
4.Maksurah, merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid. Artefak Maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat.
5.  Pintu Bledeg, pintu yang konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki Ageng Selo pada zaman Wali. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
6.  Mihrab atau tempat pengimaman, didalamnya terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti“Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan Ijtihad). Di depan Mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan sebutan Dampar Kencono warisan dari Majapahit.
7.  Dampar Kencana, benda arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai hadiah untuk Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke V Raden Kertabumi. Semenjak tahta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M, secara universal wilayah Nusantara menyatu dan masyhur, seolah mengulang kejayaan Patih Gajah Mada.
8.  Soko Tatal/Soko Guru, yang berjumlah 4 ini merupakan tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada di barat laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.
9.  Situs Kolam Wudlu. Situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat untuk berwudlu. Hingga sekarang situs kolam ini masih berada di tempatnya meskipun sudah tidak dipergunakan lagi.

BAB III  PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah, putra dari Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) dengan seorang putri Campa sekitar tahun 1500 M. Setelah berhasil mengalahkan Majapahit dan memindahkan seluruh perangkat kerajaan ke Demak. Kerajaan Demak terletak didaerah Bintoro atau Gelagahwangi yang sebelumnya merupakan daerah kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama ditanah Jawa dan berkuasa selama hampir setengah abad sebelum runtuh dan berganti nama menjadi Pajang.
Kerajaan Demak mencapai kejayaan pada masa Sultan Trenggono, kejayaan ini terlihat dari kemajuan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Di bidang ekonomi, Demak merupakan negara yang menjadi daerah penghasil beras dan penghubung jalur perdagangan nusantara,. Di bidang sosial dan politik, Kerajaan Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas dan menjadi pusat penyebaran Islam. Di bidang kebudayaan, Kerajaan Demak menjadi pelopor dari lahirnya karya-karya sastra Jawa yang berakulturasi dengan budaya Islam.
Kerajaan Demak runtuh akibat perebutan kekuasaan dan pembalasan dendam diantara para penerus kerajaan tersebut, yaitu antara Arya Penangsang, putra Pangeran Sekar Ing Seda Lepen dengan Sunan Prawoto, anak dari Sultan Trenggono.
Sebuahpelajarandarisejarah bahwaperebutan kekuasaan dan perpecahan daridalamakanmembahayakankesatuandanpersatuan. Bangsa Indonesia harus belajar dari sejarah Kerajaan Demak jika tidak ingin hancur, bukan tidak mungkin jika para penguasa negeri ini melakukan kesalahan yang sama maka nasib negeri ini akan seperti Kerajaan Demak.

3.2  Saran

Keterbatasan informasi dan ketelitian penulis dalam menyusun makalah ini, menjadi sebab adanya keurangan-kekurangan yang tidak dapat kami hindari. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penambahan wawasan bagi para penulis khususnya.
Share:

2019/06/29

METODE DAKWAH ISLAM DAN PERANAN PENTING KANJENG SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON DI JAWA BARAT


METODE  DAKWAH ISLAM DAN PERANAN PENTING KANJENG SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON  
DI JAWA BARAT

A.   Pendahuluan
          Masuknya agama Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu bersamaan.Pada abad ke-7 sampai ke-10 kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Malaka dan Kedah.Hingga sampai akhir abad ke-12 perekonomian Sriwijaya mulai melemah. Keadaan seperti ini dimanfaatkan Malaka untuk melepaskan diri dari Sriwijaya hingga beberapa abad kemudian Islam masuk ke berbagai wilayah Nusantara, dan pada abad ke-11 Islam sudah masuk di pulau Jawa.
          Pada abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid pertama di tanah Jawa. Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai peran besar dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa.Walisongo berasal dari keturunan syeikh ahmad bin isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian bagi para keturunan nabi dari arab saudi dan daerah arab lain yang tidak menganut syiah.[1]
              Penyebaran agama Islam di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan masa peralihan kehidupan agama, politik, dan seni budaya.Di kalangan penganut agama Islam tingkat atas ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali. Istilah Wali diartikan sebagai “orang suci”, sementara istilah “sunan” berasal dari bahasa jawa “suhun” yang artinya dihormati atau disembah. Dengan demikian, sunan merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang suci atau keramat yaitu para wali dan juga diberikan kepada para raja Islam di Jawa di samping gelar Sultan. Para wali itu dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Walisanga”, yang merupakan lanjutan konsep pantheon dewa Hindhu yang jumlahnya juga Sembilan orang. Adapun Sembilan orang wali yang dikelompokkan sebagai pemangku kekuasaan pemerintah yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.[2] Dalam makalah ini akan membahas tentang “peran sunan gunung jati dalam proses penyebaran islam di Jawa” yang kajiannya mencakup pada biografi, proses dan cara penyebarannya, dan pengaruhnya.

Biografi Sunan Gunung Jati
          Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu-satunya Wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa barat. Sunan Gunung Jati dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain. Sedangkan Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.
Pada masa remajanya Sunan Gunung jati berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf.[3]
Padausia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu. Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama  ibunya (Nyi Mas Rarasantang atau Ibunda Syarifah Mudaim) disambut  gembira oleh pangeran Cakra Buana ( Pangeran Walang Sungsang).  Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakra Buana dan keluarganya. Syarifah  Mada’in minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif  gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudaga rdari Arab dan Gujarat yang seringsinggah ketempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putrid Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.[4]
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.[5]

Proses dan Cara Penyebaran Islam Sunan Gunung Jati
          Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati di Cirebon dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.Pada era Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati dapat dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon. Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah.[6]
          Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Sunan Gunung Jati yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Sunan Gunung Jati. Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kesultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon.[7]
          Sebagai anggota Wali Songo dalam berdakwahnya Sunan Gunung Jati menerapkan berbagai metode dalam proses islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam metode dakwahnya menurut Dadan Wildan (2003) adalah sebagai berikut :
1.    Metode “maw’izhatul hasanah wa mujahadalah bilati hiya ahsan”. Dasar metode ini merujuk pada Al-qur’an surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “Seluruh manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
2.    Metode “Al-Hikmah” sebagai sistem dan cara berdakwah para wali yang merupakan jalan kebijaksanaan yang diselanggarakan secara populer, atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara masal, kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum.
3. Metode “Tadarruj”atau“Tarbiyatul Ummah”, dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata. Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat, bakat. Materi dan kurikulumnya, tradisi ini masih tetap dipraktekan dilingkungan pesantren.
4.  Metode pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama sekali kosong dari pengaruh Islam.
5.  Metode kerjasama,  dalam hal ini diadakan pembagian tugas masing-masing para wali dalam mengislamkan masyarakat tanah Jawa. Misalnya Sunan Gunung Jati bertugas menciptakan doa mantra untuk pengobatan lahir batin, menciptakan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan, transmigrasi atau pembangunan masyarakat desa.
6.  Metode musyawarah, para Wali sering berjumpa dan bermusyawarah membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan perjuangan mereka. Semetara dalam pemilihan wilayah dakwahnya tidaklah sembarangan dengan mempertimbangkan faktor geogstrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya.
Sunan Gunung Jati sendiri dilingkungan masyarakatnya selain sebagai pendakwah, juga berperan sebagai politikus, pemimpin dan juga berperan sebagai budayawan. Pemilihan Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwahnya Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalur perdagangan, demikian juga telah dipertimbangkan dari aspek sosial, politik, ekonomi, nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.[8]

Pengaruh Sunan Gunung Jati di Jawa
          Sebagaimana disebut di awal pembahasan, setiap Sunan dalam Wali Songo mempunyai tugas masing-masing. Seperti disebutkan Sunyoto, tugas tokoh-tokoh Wali Songo dalam mengubah dan menyesuaikan tatanan nilai dan system social budaya masyarakat, sebagai berikut:
ØSunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk masyarakat Jawa. Raja Pandhita di Gresik merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda. Susuhunan Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan, lauk pauk, memperbarui alat-alat pertanian, membuat gerabah. Syarif Hidayatullah di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca mantera, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan. Sunan Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu, menyesuaikan siklus pawukon, juga merintis pembukaan jalan. Sunan Bonang mengajar ilmi suluk, membuat gamelan, menggubah irama gamelan. Sunan Drajat, mengajarkan tata cara membangun rumah, alat yang digunakan orang untuk memikul orang seperti tandu dan joli. Sunan Kudus, merancang pekerjaan peleburan, membuat keris, melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan undang-undang hingga system peradilan yang diperuntukkan bagi orang  Jawa.[9]
ØMenurut Serat Walisana, seperti disebut Sunyoto, tokoh Syarif Hidayatullah dikisahkan memiliki kaitan dengan ajaran sufisme melalui kitab-kitab Syaikh Ibrahim Arki, SyaikhSbti, Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Syaikh Abu Yazid Bustomi, Syaikh Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani. Perkembangan Tarekat Syattariyah dan Akmaliyah, sering pula di nisbatkan pada ajaran-ajaran Wali Songo, khususnya Syarif Hidayatullah, Sunan Giri,  Sunan Kalijaga,  dan Syekh Siti Jenar.[10]
Ø Dalam  Serat Kanda, seperti dikutip Muljana, terdapat berita bahwa Sunan Cirebon ikut serta membangun masjid Demak sebagai salah satu di antara Sembilan wali.  Keterlibatan Syarif Hidayatullah dengan kerajaan Islam di Demak, disebutkan pula dalam NaskahMertasinga. Sekurangnya terdapat beberapa peristiwa besar di Demak, antara lain rapat Walisongo pernah dipindah dari Demak ke Cirebon untuk membicarakan banyak hal di Jawa. Bukti kedekatan pengaruh juga ditunjukkan dengan pola pernikahan putra putrinya. Begitu pula dengan keterlibatannya dengan kerajaan Islam di Banten. Menurut sumberlain, Syarif Hidayatullah juga ikut dalam perjuangan Islam di Jayakarta melalui utusannya Fatahillah.[11]

Kesimpulan
Sebagai sosok historis, intelektual dan muballigyang lebih memilih dakwah syiar Islam bagi masyarakatnya, daripada sebagai penguasa formal birokratis di kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah telah menanamkan suatu peradaban moral dan teologis bagi muslim Indonesia terutama di Cirebon. Karena itu, bukti kejayaannya dapat ditemukan melalui bangunan tajug atau masjid dengan keragaman seni dan filosofinya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Masjid Merah Panjunan, barangkali diantara bukti peradaban muslim klasik Indonesia dari Syarif Hidayatullah selama kurun 1479-1568 di Cirebon.
Pengaruh Syarif Hidayatullah terhadap perkembangan Islam di Jawa sangat besar sekali. Adanya kerajaan Islam di Demak dan Banten merupakan beberapa contohnya. Tak kalah pentingnya lagi kontribusi Syarif Hidayatullah pada perkembangan Islam di Jawa Barat dengan cara dakwah dengan damai, mulai dari Kuningan, Indramayu, Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis, Sumedang, bahkan Jayakarta (Betawi).


Kunjungan ketua yayasan Nurussyahid Kertajati  ke Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat SE di Keraton Kasepuhan Cirebon






Share:

DELAPAN (8) METODE DAKWAH ISLAM YANG DILAKUKAN OLEH KANJENG SUNAN GRESIK (MAULANA MALIK IBRAHIM RA)


METODE DAKWAH  KANJENG SUNAN GRESIK DI PULAU JAWA

BAB I   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara mengenai proses Islamisasi di Indonesia dapat dikatakan sama dengan berbicara mengenai peranan para wali dalam penyebaran Islam, khususnya dalam hal ini adalah peranan Wali Songo. Karena melalui Wali Songo itulah, syiar Islam dapat berkembang di Indonesia khususnya di awali di  Pulau Jawa. Walaupun sesungguhnya para wali tidak hanya Wali Songo namun kesembilan wali inilah yang memiliki peranan penting terkait dengan keberhasilan strategi dakwah Islam yang berbasis pendekatan kultural. Di kalangan masyarakat, para wali yang terkenal adalah Wali Songo yang berjumlah sembilan orang, yakni mereka yang bergelar Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim), Sunan Drajat (Raden Qasim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Kalijaga (Raden Syahid), Sunan Kudus (Ja’far Shadiq), Sunan Muria (Raden Umar Said), dan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Dalam makalah ini, penulis tidak akan menguraikan satu per satu dari Wali Songo, akan tetapi hanya Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) yang akan dibahas mengingat bahwa Sunan Gresik merupakan wali tertua dari Wali Songo dan mempelopori strategi dakwah yang selanjutnya diteruskan oleh para wali sesudahnya.

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana Biografi Sunan Gresik ?
2.     Bagaimana Metode Dakwah Sunan Gresik ?
3.     Apa saja Peninggalan Sunan Gresik ?
C.     Tujuan Masalah
1.     Mengenal Biografi Sunan Gresik.
2.     Mengetahui Metode Dakwah Sunan Gresik.
3.     Mengetahui Peninggalan Sunan Gresik.



BAB II  PEMBAHASAN
A.    Biografi Sunan Gresik
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo, Gresik.[1]
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.  
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. 
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur. [2]
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) merupakan wali yang tertua dari Wali Sanga. Dari beliau, lahir anak-cucu yang diantaranya termasuk dalam Wali Sanga. Adapun Wali Sanga ini tidak hidup bersamaan, akan tetapi di antara mereka terjalin hubungan erat, yaitu ada yang memiliki hubungan darah (ayah-anak-cucu), guru-murid, atau persahabatan. Urutan keterkaitan di antara Wali Sanga tersebut adalah Sunan Gresik sebagai yang tertua. Sunan Ampel adalah putra dari Sunan Gresik. Sunan Giri adalah keponakan Sunan Gresik. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria merupakan putra dari Sunan Kalijaga. Sunan Kudus merupakan murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para sunan yang telah disebut, kecuali Maulana Malik Ibrahim karena lebih dulu meninggal. Sunan Gresik sebagai wali tertua tentu memiliki pengaruh terhadap para wali setelahnya, terutama yang berkaitan dengan metode dakwah.[3]
B.    Metode Dakwah Sunan Gresik
M Syaikh Maulana Malik Ibrahim, yang makamnya terletak dikampung Gapura di dalam kota Gresik, Jawa Timur, tidak jauh dari pelabuhan. Inkripsi makamnya yang menunjuk angka 882 H/1419 M, yaitu wafatnya menempatkannya sebagai salah seorang tokoh yang dianggap penyebar Islam tertua di Jawa.[4]
Maulana Malik Ibrahim, dikenal pula dengan sebutan Syekh Maghribi atau juga Sunan Gresik. Meskipun beliau bukan asli orang Jawa, namun beliau berjasa kepada masyarakat. Karena beliaulah yang mula pertama menyebarkan Islam di tanah Jawa. Sehingga berkat usaha dan jasanya, penduduk pulau Jawa yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Buddha di kala itu akhirnya mulai banyak yang memeluk Islam.

Berikut beberapa metode, sarana, dan usaha-usaha yang dilakukan Sunan Gresik dalam berdakwah:
1.     Mempelajari Adat Istiadat Setempat
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.[5]
Awalnya, siapa saja yang datang ke tempat baru,  akan merasakan kesulitan untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Hal ini terjadi lantaran adanya kekhawatiran akan salah tingkah ataupun sesuatu yang dilakukan tidak sesuai dengan adat istiadat masyarakat di wilayah yang baru ditempati. Demikian pula halnya yang terjadi pada Sunan Gresik. Karena beliau bukan merupakan orang Jawa, tentu harus mengadakan adaptasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat sebelum mengawali dakwahnya. Sebab beliau paham betul bahwa setiap negara memiliki aturan tersendiri dengan negara lain. Bahkan, setiap desa di suatu negara memiliki adat istiadat yang berbeda dengan desa yang lain. Untuk itu, Sunan Gresik mempelajari bahasa Jawa, mengenali adat istiadat tempat beliau tinggal, serta mempelajari kehidupan masyarakat, baik dari segi mata pencahariannya, pandangan hidupnya, dsb. dengan harapan bahwa hal tersebut akan membuatnya lebih berhati-hati dan tidak terjerumus dalam kesalahan yang dapat membuat masyarakat membencinya.

2.     Membuka Warung/Berdagang
Setelah berhasil memikat hati masyarakat sekitar, aktivitas selanjutnya yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.[6] Di wilayah yang baru ditempati, mula-mula Sunan Gresik membuka warung untuk berjualan makanan dan barang yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Berjualan menjadi salah satu sarana yang digunakan oleh Sunan Gresik dalam misi dakwahnya. Sebagai pendatang, tentu tidak mudah bagi beliau untuk langsung menjalankan misi dakwah. Oleh karena itu, diperlukan keakraban terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Bagi Sunan Gresik, berjualan merupakan cara yang cukup efektif dalam upaya mengakrabkan diri dengan masyarakat setempat. Dari berjualan, Sunan Gresik dapat membangun relasi yang baik dengan masyarakat serta dapat mempelajari segala hal pada masyarakat yang menjadi konsumennya, yakni mulai dari nama orang-orang, keluarganya, kondisi kehidupannya termasuk situasi sosial-ekonominya, wataknya, bahkan kalau perlu hal-hal yang bersifat pribadi juga beliau coba ketahui. Perlu dipahami bahwa motif dalam pendirian warung tersebut bukanlah untuk mencari keuntungan tetapi sebagai sarana dalam menyiarkan agama Islam sehingga apapun yang beliau perdagangkan, dijual dengan harga yang murah. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan masyarakat setempat.
3.     Membuka Lahan Pertanian
Sunan Gresik adalah orang yang ahli dalam pertanian. Beliau mampu memanfaatkan tanah di Jawa yang subur untuk menanam tanaman kebutuhan sehari-hari, seperti padi, umbi-umbian, dsb. Bahkan beliau merupakan orang pertama yang memiliki gagasan untuk mengalirkan air dari gunung untuk menunjang irigasi lahan pertanian penduduk. Kehadiran Sunan Gresik di tanah Jawa benar-benar menjadi berkah dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hasil pertanian menjadi semakin meningkat, sehingga banyak orang yang menaruh perhatian dan ingin belajar kepada beliau.
4.     Menjadi Tabib
Selain handal dalam perdagangan dan pertanian, Sunan Gresik juga cukup piawai dalam menangani masalah kesehatan. Dengan racikan obat yang dibuat beliau, hampir seluruh orang yang berobat mendapatkan kesembuhan. Dalam menjalankan praktik pengobatan, beliau tidak memungut biaya. Oleh karena keikhlasan pelayanan inilah yang semakin menempatkan posisi Sunan Gresik menjadi orang yang disegani dan terkenal dalam masyarakat. Kharisma beliau semakin kuat seiring dengan keberhasilan dalam mengobati berbagai penyakit dan menjadikan Sunan Gresik sebagai sandaran hidup masyarakat.
5.     Hidup dengan Sederhana
Hidup dengan sederhana bukan berarti tidak memiliki apa-apa. Hidup sederhana menandakan bahwa orang itu tidak tergantung terhadap materi. Orang yang mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap materi akan mencapai kebahagiaan sejati. Sebab, selama manusia masih tergantung pada materi, hidupnya tidak akan pernah puas. Selain itu, dengan hidup sederhana, seseorang dapat membuka pergaulan seluas-luasnya. Sebaliknya, hidup yang terbelenggu dalam kemewahan identik dengan kehidupan para elite sehingga masyarakat kelas bawah enggan untuk bergaul dengan para elite. Sunan Gresik sebagai ulama yang akan menjadi panutan seluruh elemen masyarakat tentu bukan kebetulan memilih hidup sederhana. Beliau mengetahui bahwa dengan hidup sederhana, dapat membangun relasi dengan siapa saja, baik di tingkat elite maupun tingkat bawah. Masyarakat menjadi tidak segan untuk bergaul dengan beliau, karena masyarakat memiliki pandangan bahwa beliau adalah sederajat dengannya dalam ranah sosial.
6.     Menghapus Perbedaan Kelas (Kasta)
Dalam kehidupan masyarakat di wilayah Sunan Gresik tinggal, terdapat kepercayaan masyarakat terhadap perbedaan kelas sosial. Ada masyarakat yang diposisikan kelas sosialnya sebagai masyarakat rendah, tengah, dan tinggi. Masyarakat rendah memiliki nasib yang malang karena tidak dapat menikmati hak-hak asasi manusia. Mereka dianggap tidak berguna oleh masyarakat pada kelas yang lebih tinggi lantaran kelas sosialnya yang rendah. Umumnya, masyarakat yang menempati kelas sosial rendah adalah para budak dan petani. Sebagai orang Islam, tentu Sunan Gresik tidak setuju dengan situasi tersebut. Di dalam agama Islam, tidak ada perbedaan kelas, yang membedakan seseorang dengan orang lain adalah dalam hal ketakwaannya. Oleh karena itu, Sunan Gresik yang jika dilihat dari kepercayaan masyarakat setempat, sebagai orang yang memiliki kelas sosial tinggi karena beliau tergolong kaya dan menantu raja, tetapi memposisikan diri sebagai orang yang sederajat dengan siapapun, termasuk dengan masyarakat yang dianggap memiliki kelas sosial rendah. Kemudian, beliau mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat bahwa dalam Islam derajat setiap manusia adalah sama dan selanjutnya banyak orang yang tertarik untuk masuk Islam. Dalam hal ini, Sunan Gresik telah membantu masyarakat kelas tinggi keluar dari kezaliman karena merendahkan masyarakat pada kelas sosial yang lebih rendah, dan mengangkat derajat masyarakat yang dianggap pada kelas sosial rendah pada posisi yang sama dalam status hubungan sosial.
7.     Membangun Masjid dan Pesantren
Setelah para pengikut Islam semakin banyak, Sunan Gresik mendirikan sebuah masjid sebagai tempat ibadah, sarana berdakwah, dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Pada waktu itu, masyarakat Jawa sudah terbiasa menetap di tempat gurunya yang mengajarkan ilmu. Ada tempat-tempat khusus yang disediakan oleh para guru untuk menampung murid yang ingin belajar kepadanya.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam pada masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
8.     Mengajarkan Islam dengan Mudah
Dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat awam, Sunan Gresik memiliki prinsip mengajarkan ilmu dengan mudah dipahami oleh masyarakat. Beliau tidak mengajarkan Islam secara rumit dan teoretis. Artinya, beliau mengajarkan agama Islam dengan disertai contoh praktis yang mudah dipahami dan dimengerti. Dalam mengajarkan Islam, beliau juga tidak menakut-nakuti masyarakat dengan dosa dan ancaman, melainkan disampaikan dengan gembira sebagaimana pesan Rasulullah Saw. Misalnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Stamford Raffles dalam bukunya History of Java, yang dikutip Arman Arroisi, ketika Sunan Gresik ditanya siapakah Allah itu? Beliau tidak menjawab bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Besar, yang akan menyiksa orang-orang yang membangkang dan memberikan pahala kepada orang-orang yang berbakti. Melainkan, beliau menjawab secara sederhana, “Allah adalah Dzat yang diperlukan ada-Nya.”  
Dengan beberapa metodologi tersebut, Sunan Gresik telah berandil besar mengembangkan Islam di Pulau Jawa dengan cukup pesat. Hal tersebut terjadi karena Islam disampaikan dengan santun dan penuh kebijaksanaan beliau, sebagaimana yang memang dianjurkan oleh Allah Swt. Dan diteladankan oleh Rasulullah Saw
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibu kota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibu kota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
C.     Peninggalan Sunan Gresik
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419. Makamnya kini terdapat di desa Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:
 “Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para sultan dan wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal 822 Hijriah”
Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim. Dan Pada beberapa nisan kubur Sunan Gresik terdapat tulisan kaligrafi, dituliskan petikan beberapa ayat al-Quran seperti Surat al-Baqarah ayat 225, Surat Ali Imran ayat 17, 18, 19, 25, 26, 27, 185.[7]
Kemudian satu-satunya masjid peninggalan Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah Masjid Tertua di tanah Jawa ternyata ada di Kabupaten Gresik, Jawa Timur.  Masjid tersebut adalah Masjid Pesucinan, di Dusun Pesucinan, Desa Leran, Kecamatan Manyar Gresik, yang  kini dikenal dengan Masjid Tertua di pulau Jawa.
Dalam catatan sejarah perjalanan panjang Syeikh Maulana Malik Ibrahim ke Pulau Jawa,  daerah yang pertama kali dituju dan disinggahi adalah Desa Sembolo atau yang kini dikenal dengan Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik, pada tahun 1389 Masehi. Dahulu, desa ini  berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit, dan terletak persis di bibir laut Jawa, 9 kilometer dari pusat kota Gresik sekarang.
Sayangnya, Tidak banyak catatan sejarah yang bercerita mengenai keberadaan Masjid Pesucinan yang berlokasi di tengah-tengah areal pertambakan tersebut.  Sebab letaknya yang sulit dijangkau oleh kendaraan besar seperti  bus pariwisata, membuat masjid yang berumur sekitar 664 tahun ini tampak asing dari hiruk pikuk kunjungan wisatawan, seperti masjid bersejarah pada umumnya di negeri ini.
Masjid peninggalan Syekh Maulana Malik Ibrahim ini, dipercaya penduduk setempat dan beberapa ahli sejarah merupakan masjid tertua di pulau Jawa peninggalan Syeikh maulana Malik Ibrahim, salah seorang diantara tokoh wali songo yang terkenal.
Secara kasat mata, masjid ini tidak terlihat mempunyai nilai sejarah tinggi, sebab telah beberapa kali mengalami pemugaran. Bahkan, dari beberapa catatan yang dihimpun Gresikgress.com, Masjid Pesucinan sudah di pugar beberapa kali, dan pemugaran terakhir terjadi pada tahun 2005.[8]


BAB III  PENUTUP
A.           Kesimpulan
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah nama salah seorang Walisongo. Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14 tertulis dalam Babad Tanah Jawi.
2. Adapun Metode Dakwah Sunan Gresik adalah Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergauland dengan mengenal adat istiadat masyarakat setempat. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Setelah berhasil memikat hati masyarakat sekitar, aktivitas selanjutnya yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang dengan membuka warung. Dengan hidupnya yang sederhana kemudian membuka lahan pertanian, dan ia menjadi tabib, sampai Menghapus Perbedaan Kelas (Kasta). Terakhir ia juga membangun mesjid dan Pesanren.
3.  Satu-satunya masjid peninggalan Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah Masjid Tertua di tanah Jawa ternyata ada di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Selain mesjid, ada benda arkeologi yang menjadi bukti adanya Sunan Gresik yaitu batu Nisan pada Makamnya yang bertuliskan petikan beberapa ayat al-Quran seperti Surat al-Baqarah ayat 225, Surat Ali Imran ayat 17, 18, 19, 25, 26, 27, 185.



Share:

Translate

RAPOT DIGITAL MADRASAH (RDM)

KALENDER MA NURUSSYAHID

Calendar Widget by CalendarLabs

NU ONLINE

NPSN MA NURUSSYAHID

KUMPULAN KITAB TERJEMAHAN

LOKASI MA NURUSSYAHID


Foto Kepala MA Nurussyahid Kertajati dengan Gus Sauqi Putra Abah KH. Ma'ruf Amin (Wakil Presiden RI)

KEPALA MA BERSAMA PARA PURNAWIRAWAN TNI PADA ACARA MUNAJAT RAJAB

SANTRI MA NURUSSYAHID KERTAJATI PADA ACARA MUNAJAT RAJAB 1440 H

KUNJUNGAN SULTAN SEPUH KE YAYASAN