Madrasah Aliyah Nurussyahid (MANUSA) adalah Sekolah Menengah Atas Setingkat SMA/SMK, Yang berdiri 2013 dengan Unggulan Magang dan Mahir Bahasa Jepang


Niat yang baik akan menghasilkan prasangka yang baik, Prasangka yang baik akan menghasilkan Aqidah yang baik dan Aqidah yang baik akan menghasilkan Akhir yang baik (Khusnul Khotimah). Hidup ini adalah Perjuangan, perjuangan perlu pengorbanan, pengorbanan perlu kecintaan, kecintaan perlu kesungguhan dalam Do'a dan Ikhtiar yang seimbang. kecintaan perlu keikhlasan dan keikhlasan perlu kesabaran, maka Allah berfirman Jadikan Sabar dan Sholat sebagai penolongmu melalui petunjuk sang Guru Mursyid.
Showing posts with label HUMOR SUFI. Show all posts
Showing posts with label HUMOR SUFI. Show all posts

2022/11/21

TIM FUTSAL PUTRI MA NURUSSYAHID KERTTAJATI MERAIH JUARA SATU PADA LOMBA YANG DIGELAR OLEH VEGASUS DESA BABAKAN

Kepala MA Nurussyahid saat menerima Piala dari Kejuaraan Tim Futsal putri MA Nurussyahid Kertajati

 

Sebuah kebanggan yang luar biasa dirasakan oleh para peserta didik MA Nurussyahid Kertajati dengan telah mengalahkan beberapa tim lawan lainnya,  yang pada akhirnya Tim Futsal putri MA Nurussyahid Kertajati  memenangkan kejuaraan yang diselenggarakan oleh Lapang Futsal Vegasus Desa Babakan.

Pihak Madrasah mengucapkan terima kasih kepada Fitriani, I'ah Nurhalimah, Cucu Anggraeni, Elda dan Eva Siti Nurfadilah yang telah menorehkan tinta emasnya buat kejayaan MA Nurussyahid dalam olah raga Futsal Putri, semoga sukses dan barokah selalu. aamiin

Share:

2019/11/24

HUMOR SUFI DALAM CERITA " TIRULAH SIFAT BURUNG MERPATI"



TIRULAH SIFAT MERPATI

K.H. Busro, pengasuh pondok Pesanteren Miftahul Anam, mendapat tugas agar menyampaikan nasihat ketika putri tungal Haji Mas Arifin Martodilogo, mantan pesilat dari desa Sendang Limo, akan menikah alias berumah tangga.
Dalam nasihatnya, Kiai Busro mengibaratkan orang berumah tangga itu seperti  sepasang Binatang.
Para Hadirin tampak senyum–senyum kecil. Namun kedua mempelai yang sedang bersanding tampak merah wajahnya karena malu. Mereka menganggap Kiai telah telah menyamakan mereka dengan sepasang binatang yang berkasih mesra.
Kiai itu melanjutkan Mau’idzah-nya , “ ini hanya ibarat. Ibarat itu kan tidak sebenarnya, hanya semacam perlambang .”
Lalu dua mempelai yang tadinya tersenyum kecut itu kini saling berpandangan gembira.
“Umpama,” kata Kiai Busro, “dua merpati terbang lalu bertengger pada sebatang pohon rindang, keduanya mengumpulkan ranting dan daun-daun pohon yang sudah kering, mengangkatnya bersama-sama menuju suatu tempat yang terpilih. Daun-daun dan rumput kering disusun dengan rapi dan cermat sehingga terbentuklah sarang yang cukup kuat untuk tempat bertelurnya merpati betina”.
“itulah teknologi terapan ala merpati. Jadi, merpati juga mempunyai iptek,” lanjut kiai menyelingi humor sembari tertawa segar.
“ Sedangkan, kesabaran membuat sarang adalah Imtaknya (Iman dan Taqwa) merpati. Sang jantan menunggui si betina yang sedang bertelur sambil bersenandung. Apabila betinanya meninggalkan sarangnya untuk mencari makan, sang jantan menggantikannya mengerami telur-telurnya. Kadang mereka juga bersama-sama mengerami telur-telurnya itu. “ papar Kiai melanjutkan ceritanya soal merpati.
“itulah hubungan erat memberi, dan menerima, sama-sama merasakan susah, sedih, senang dan gembira. Perbuatan yang di contohkan merpati tadi sepatutnya ditiru kita manusia,” tuturnya.
Lalu Kiai melanjutkan perumpamaannya, “Tapi jangan meniru ayam. Baru bertelur sebutir saja, seluruh desa mengetahuinya karena sang jantan dan betina berkotek bersama dengan suara keras.”

“Jangan juga meniru bebek ,” ucapnya. “Karena bebek bertelur dimana-mana, tidak ditempat tertentu. Jangan bersifat sebagai manusia yang tidak menentu tempatnya,” imbuhnya.
Share:

2019/11/23

HUMOR SUFI DALAM CERITA "PAHALA MEMBANTU TETANGGA DAN ANAK YATIM"



PAHALA  MEMBANTU  TETANGGA DAN ANAK YATIM

            Pada Suatu masa ketika Abdullah bin Mubarok berhaji, tertidur di Masjidil Haram. Dia telah bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit lalu yang satu berkata kepada yang lain, “Berapa banyak orang-orang yang berhaji pada tahun ini? “
            Jawab yang lain, “Enam ratus ribu.” Lalu ia bertanya lagi, “Berapa banyak yang diterima?”
            Jawabnya, “Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari  Damsyik bernama Muwaffaq, dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan berkat hajinya Muwaffaq.” Ketia Abdullah bin Mubarok mendengar percakapannya itu, maka terbangunlah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat ke Damsyik mencari orang bernama Muwaffaq itu sehingga ia sampailah ke rumahnya. Dan ketika diketuk pintunya, keluarlah seorang lelaki dan segera ia bertanya namanya. Jawab orang itu, “Muwaffaq.”
            Lalu Abdullah bin Mubarokbertanya kepadanya, “Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan sehingga mencapai derajat yang sedemikian itu?”
            Jawab Muwaffaq, “Tadinya aku ingin berhaji tetapi tidak dapat karena keadaanku, tetapi mendadak aku mendapat uang tiga ratus Dirham dari pekerjaanku membuat dan menambal sepatu, lalu aku berniat haji pada tahun ini sedang istriku pula hamil, maka suatu hari dia tercium bau makanan dari rumah tetanggaku dan menyampaikan tujuan sebenarku kepada wanita tetanggaku itu. Jawab tetanggaku, “Aku terpaksa membuka rahasiaku, sebenarnya anak-anak yatimku sudah tiga hari tanpa makanan, karena itu aku keluar memcari makanan untuk mereka. Tiba-tiba bertemulah akau dengan bangkai himar di suatui tempat, lalu aku potong sebahagiannya dan bawa pulang untuk masak, maka makanan ini halah bagi kami dan haram untuk makanan kamu.”
            Ketika aku mendengar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan mengambil uang tiga ratus dirham dan kuserahkan kepada tetanggaku tadi seraya menyuruhnya membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim yang ada dalam jagaannya itu. “Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku.” Kata Muwaffaq lagi.
            Demikianlah cerita yang sangat berkesan bahwa membantu tetangga yang dalam kelaparan amat besar pahalanya apalagi didalamnya terdapat anak-anak yatim.

            Rasulullah pernah ditanya, “Ya Rasulullah tunjukan padaku amal perbuatan yang bila kuamalkan akan masuk surga.” Jawab Rasulullah, “Jadilah kamu orang yang baik.”
Share:

2019/11/20

HUMOR SUFI " DALAM CERITA POLITIK DAN MILITER"


Foto Saat Kegiatan Pertunjukan Drama Kolosal Gabungan MA Nurussyahid Kertajati, MTsN 8 Majalengka, SMAN 1 Jatitujuh di Alun Majalengka dalam Hari TNI Dengan Judul Ki Bagusrangin

POLITIK  DAN  MILITER
      Suatu saat sewaktu istirahat seminar tentang “Peranan Ilmu di Abad Mendatang” seorang Arsitek, seorang dokter Ahli Bedah, seoranmg Ahli Hukum seorang Politikus dan seorang Ali Militer terlibat dalam perbincangan mengenai disiplin ilmu siapa yang paling  tua di dunia.

       “Tidak lama setelah Adam diciptakan, Tuhan mengambil sebuah tulang rusuk Adam kemudian diciptakan Hawa. Nah, proses pengambilan tulang rusuk itu tidak bisa  lain  kecuali menggunakan teknik ilmu bedah. Jadi, ilmu bedah adalah ilmu yang paling tua di dunia ini!” kata si Ahli Bedah dengan bangganya.

      “Tapi apakah anda tidak ingat, sewaktu Adam diciptakan, Tuhan terlebih dahulu menciptakan taman Firdaus yang sangat indah, tiada duanya sampai saat ini.  Bukankah penciptaan Taman Firdaus itu jelas menggunakan ilmu Arsitekur?” sergah si Arsitek tak mau kalah.

     “Tenang-tenanglah saudara-saudara! Kalian-kalian harus lebih teliti dalam menyimak “Kejadian” awal mula alam semesta ini. Ketika belum terbentuk bumi  dan planet-planet lain di jagad raya ini, keadaan alam masih penuh KEKACAUAN. Kemudian Tuhan menurunkan Hukum-hukumnya sehingga alam semesta menjadi teratur seperti yang dapat kita saksiakan  sampai saat ini. Dengan bukti itu kalain semua tentu sudah dapat maklum disiplin ilmu mana yang lebih tua”, kata si Ahli Hukum dengan gaya seorang pemenang sejati yang kalem.


    Tiba-tiba takalahh kalemnya, si Politikus menyeletuk: “Tapi, siapakah sebenarnya yang menimbulkan SEMUA KEKACAUAN di jagad raya itu?” Dari sampingnya, AHLI MILITER mesem-mesem dan berbisik pelan kepada AHLI POLITIK, Emangnya kamu bisa apa tanpa bantuanku ???”.  
Share:

HUMOR SUFI " DALAM CERITA SYEKH ABDUL QADIR JAELANI, RA ADA DALAM AL-QUR’AN "




SYEKH ABDUL QADIR JAELANI, RA 
ADA DALAM AL-QUR’AN


Dalam sebuah Majlis,  salah seorang jama’ah Pengajian Tasawuf di Pesantren  Suryalaya Tasikmalaya mengajukan pertanyaan begini :
“ Menurut Ajengan”, Apakah Syeh Abdul Qadir Jailani itu ada dalam Al-Qur’an ?”
sejenak suasana pengajian pun menjadi hening. Mereka menunggu K.H. Abdul Gaos Saiful Maslul- akrab dipanggil Ajengan Gaos – memberijawaban atas pertanyaan penanya tadi.
Ada!” jawab Ajengan tega.
“Ah, masak iya sih,” sanggah penanya penuh keheranan.
“Oo kalau begitu, anda tidak pernah membaca Al-Qur’an”. Jawab Ajengan lagi-lagi membuat penanya dan jama’ah lain bertambah penasaran/
“ Saya sudah coba mengamati ayat demi ayat, tapi rasanya kok  saya tidak menemukan nama syekh Abdul Qadir Jailani di sana (Al-Qur’an)”. Penanya menjelaskan.

“ Siapa bilang Syekh Abdul Qadir Jailani tidak ada dalam Al-Qur’an. Coba sekali lagi anda baca, barangkali ada yang kelewat,” saran Ajengan Gaos.
“ Betul Ajengan, saya sudah membacanya tapi tetap tidak ada.”
“Sekarang perhatikan, saya akan bacakan ayatnya . “ Ajengan Gaos lalu membuka surat Al-Fatihah ayat ke 7 yang berbunyi:…… Shiraathalladziina ‘an’amta ‘alaihim…………
“ Nah, apa artinya alladziina?” Tanya Ajengan.
“Orang-orang,” jawab penanya.
“Nah, Syekh abdul Qadir Jailani orang bukan?”
Mendengar penjelasan ajengan Gaos tadi, penanya dan jama’ah pun Cuma bisa melohok.

·  Ajengan (Sunda) = Kiai dalam tradisi Panggilan Ulama di Jawa.    
Share:

2019/11/18

HUMOR SUFI " SIDI ABU NAWAS DALAM CERITA MASALAH LIBERAL"



LIBERAL
            Abu Nawas adalah seorang Ulama “nyleneh” yang sangat akrab dengan pusat kekuasaan Kholifah Harun al-Rasyid di Bagdad, satu dari pimpinan Daulah Bani Abasiyah. Kritik dan pendapat-pendapatnya – menjadi rujukan Kholifah dalam menentukan kebijakan kenegaraan. Tapi perilaku Abu Nawas sering aneh-aneh dan tidak bisa difahami kebanyakan orang.
            Syahdan. Suatu hari Abu Nawas berpidato di hadapan orang banyak dikeramaian kota. Di situ ia mengumumkan – semacam pernyataan sikap kepada pers pada jaman sekarang  - tiga hal :
-        Bahwa dirinya sekarang membenci kepada yang haq.
-        Bahwa ia juga menyintai fitnah, dan
-        Hingga saat ini  ( waktu pernyataan dikeluarkan), dia lebih kaya dari pada Tuhan.
Pernyataan ini sangat mengagetkat para ulama dan meresahkan masyarakat. Selintas, kalimat-kalimat tersebut menentang arus berpikir yang benar dan murtad secara agama. Maka kejadian tersebut segera dilaporkan kepada Kholifah, lalu Abu Nawas dipanggil. Setelah menghadap, terjadilah dialog sebagaiberikut :
-        Apa betul kamu mengumumkan bahwa kamu benci kepada yang Haq ?
-        Betul paduka. Bahkan paduka juga membenci yang haq,
-        Lo kok bisa. Apa buktinya.
-        Kematian kan haq, alam kubur juga haq, Bukankah paduka tidak senang akan kematian alam kubur, walau itu haq.
-        Betul juga kamu. Tapi pernyataanmu menyintai fitnah itu sangat mengganggu ketentraman masyarakat. Itu bisa menimbulkan permusuhan  dalam masyarakat. Berarti kamu telah berbuat kesalahan yang harus dihukum.
-        Bahkan tuan sendiri kan juga menyintai fitnah apa harus juga dihukum. Bukankah dalam al-Qur’an disebutkan, bahwa anak dan istrimu itu fitnah.
-        O, begitu.
-        Tapi kalau benar kamu menyatakan bahwa lebih kaya dari pada Tuhan, itu takabur dan bertentangan dengan keimanan ?
-        Tidak yang Mulia. Itu kenyataan. Saya mempunyai anak, yang Mulia mempunyai anak, tapi Tuhan tidak.
Kholifah diam sejenak, lalu bertanya :
-        Lalu apa maksud sesungguhnya dari pernyataanmu itu ,

-        Saya ingin mengingatkan tuan untuk tidak melupakan kematian dan alam kuburnya, jangan lupakan Tuhan karena menyintai anak dan istri, serta selalu mematuhi Allah Yang Maha esa. Begitu.
Share:

HUMOR SUFI " SIDI ABU NAWAS DALAM CERITA MEMBALAS PERBUATAN RAJA"



Membalas Perbuatan Raja

Abu Nawas hanya tertunduk sedih mendengarkan penuturan istrinya. Tadi pagi beberapa pekerja kerajaan atas titan langsung Baginda Raja membongkar rumah dan terus menggali tanpa bisa dicegah. Kata mereka tadi malam Baginda bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya. Tetapi setelah mereka terus menggali ternyata emas dan permata itu tidak ditemukan. Dan Baginda juga tidak meminta maaf kepada Abu Nawas. Apabila mengganti kerugian. inilah yang membuat Abu Nawas memendam dendam.

Lama Abu Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan muslihat untuk membalas Baginda. Makanan yang dihidangkan oleh istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap. Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak. Keesokan hari Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang sudah basi. la tiba-tiba tertawa riang.

"Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi." Abu Nawas berkata kepada istri­nya.

"Untuk apa?" tanya istrinya heran.

"Membalas Baginda Raja." kata Abu Nawas singkat. Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju istana. Setiba di istana Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata,

"Ampun Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani memakan makanan hamba."

"Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?" sergap Baginda kasar.

"Lalat-lalat ini, Tuanku." kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya. "Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba me­ngadukan perlakuan yang tidak adil ini."

"Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?"

"Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari Bagin­da sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu." Baginda Raja tidak bisa mengelakkan diri menotak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para menteri sedang berkumpul di istana. Maka dengan terpaksa Baginda membuat surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di manapun mereka hinggap.

Tanpa menunggu perintah Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan tongkat besi yang sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di kaca.

Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hing­ga hancur, kemudian vas bunga yang indah, kemudian giliran patung hias sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas. Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan hinggap di tempayan Baginda Raja.

Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya. Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda banyak yang hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu. Kini ia sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas. Abu Nawas yang nampak lucu dan sering menyenangkan orang itu ternyata bisa berubah menjadi garang dan ganas serta mampu membalas dendam ter­hadap orang yang mengusiknya.

Abu Nawas pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari istana.
Share:

HUMOR SUFI " SIDI ABU NAWAS DALAM CERITA LOLOS DARI MAUT"



Lolos Dari Maut

Karena dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat celaka. Dengan kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajurit-prajuritnya langsung menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara.

Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang akan tiba. Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul. Dan tanpa alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara.

Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetangga-tetangganya tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam 'penjara kecuali mencari jalan keluar.

Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. la hanya makan sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung.

Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. "Bisakah aku minta tolong kepadamu?" kata Abu Nawas membuka pembicaraan.

"Apa itu?" kata pengawal itu tanpa gairah.

"Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh diketahui oleh istriku saja."

Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas.

Ternyata pengawal itu merighadap Baginda Raja untuk melapor.

Mendengar laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu Nawas:

Abu Nawas menulis surat yang berbunyi: "Wahai istriku, janganlah engkau sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun."

Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa sebenarnya rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yarig dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka?

Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.

Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi: "Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?"

Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan bijaksana Abu Nawas membalas: "Sekarang engkau bisa menanam kentang di la­dang tanpa harus menggali, wahai istriku."

Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Bagi.nda makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.

********

Abu Nawas masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain.

Baginda berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara untuk membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko yang lebih buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih sanggup menyusahkan prang. Keputusan yang dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat.

Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghisap udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.

Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja. Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.

Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang hartdal daiam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu.

Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ra­mal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa mem-bahayakan kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap.

Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini berniat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng.

Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian. Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu  Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.

Beliau bertanya, "Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?"

"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga me­rasa gembira." jawab Abu Nawas sambil tersenyum.

"Engkau merasa gembira?" tanya Baginda kaget.

"Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke Hang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun." kata Abu Nawas tetap tenang.

Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.

Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga pen­jara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam pen­jara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan penjaga penjara.

*****

Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak, namun Baginda merasa kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas.

Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri.Dan ulama dengan ulama. Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat.

Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-cara yang pa­ling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.

Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke lubang siasat sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat pemancungan.

Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama.

Benarkah Abu Nawas sudah keok?

Kita lihat saja nanti.

Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan.

Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kernenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang.

Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya sat orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas aka berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas. Bukankah Alia Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusan-Nya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas. Orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat hukuman bagi dirinya, se­makin tegar hatinya.

Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu dayanya. Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya. Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya.

Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi  hening, sewaktu Bagin Raja memberi sambutan singkattentang akan dilaksanakan hukuman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas. Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-nantikan Abu Nawas.

"Adakah permintaan yang terakhir"

"Ada Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas singkat.

"Sebutkan." kata Baginda.

"Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hu­kuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia." pinta Abu Nawas.

"Baiklah." kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas..

"Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja." kata Abu Nawas memohon.

"Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana." kata Baginda sambil tertawa.


"Hamba tidak bersenda gurau Paduka yang mulia." kata Abu Nawas bersungguh-sungguh.

Baginda makin terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring.

"Hamba minta dihukum pancung!"

Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda  yang semula berderai-derai mendadak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja ti­dak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan rakyatnya.

Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling cocok untuk dirinya.

Kini kesempatan Abu Nawas membela diri.

"Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba hams dihukum gantung. Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?"

Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benar-benar luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini.

"Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini. Berapa banyakkah bintang  di langit?"

"Oh, gampang sekali Tuanku."

"Iya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?" tanya Baginda.

"Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai."

"Kau ini.... bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?"

"Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?"

"Ha ha ha ha ha...! Kau memang penggeli hati.

Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang baru!"

"Siap Baginda        !"

oo000oo
Share:

HUMOR SUFI " SIDI ABU NAWAS DALAM CERITA HADIAH BAGI TEBAKAN JITU"



Hadiah Bagi Tebakan Jitu

Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.

Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhir-akhir ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.

"Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?" tanya Abu Nawas  ingin tahu.

"Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku." kata Baginda.

"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba."

"Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?" tanya Baginda.

"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa sedikit pun perasaan ragu, "Tuanku yang mulia," lanjut Abu Nawas 'ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas."

Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.

"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?"

"Ikan-ikan di laut." jawab Abu Nawas dengan tangkas.

"Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?" tanya Baginda heran.

"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak." jawab Abu Nawas meyakinkan.

Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak.

Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.

Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.

"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?" Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata,

"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan  keringat bercucuran pada keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"

Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana.

Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap  Bagiri

"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"

"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu. "Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan."

"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.

"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."

"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.

"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu.

"Kiamat, wahai Padukayang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu."

Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.

Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi,

"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.

oo000oo
Share:

HUMOR SUFI " SIDI ABU NAWAS DALAM CERITA CARA MEMILIH JALAN"



Cara Memilih Jalan

Kawan-kawan Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata ke hutan. Tetapi tanpa keikutsertaan Abu Nawas perjalanan akan terasa memenatkan dan membosankan. Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke rumah Abu Nawas untuk mengajaknya ikut serta. Abu Nawas tidak keberatan. Mereka berangkat dengan mengendarai keledai masing-masing sambil bercengkrama.

Tak terasa mereka telah menempuh hampir separo perjalanan. Kini mereka tiba di pertigaan jalan yang jauh dari perumahan penduduk. Mereka berhenti karena me­reka ragu-ragu. Setahu mereka kedua jalan itu memang menuju ke hutan tetapi hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata. Bukan hutan yang dihuni binatang-binatang buas yang justru akan membahayakan jiwa mer­eka.

Abu Nawas hanya bisa menyarankan untuk tidak meneruskan perjalanan karena bila salah pilih maka mereka semua tak akan pernah bisa kembali. Bukankah lebih bijaksana bila kita meninggalkan sesuatu yang meragukan? Tetapi salah seorang dari mereka tiba-tiba berkata,

"Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal dekat semak-semak sebelah sana. Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang bisa membedakan keduanya karena rupa mereka begitu mirip. Yang satu selalu berkata jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja."

"Apakah engkau mengenali salah satu dari mereka yang selalu berkata benar?" tanya Abu Nawas.

"Tidak." jawab kawan Abu Nawas singkat.

"Baiklah kalau begitu kita beristirahat sejenak." usul Abu Nawas.

Abu Nawas makan daging dengan madu bersama kawan-kawannya.

Seusai makan mereka berangkat menuju ke rumah yang dihuni dua orang kembar bersaudara. Setelah pintu dibuka, maka keluarlah salah seorang dari dua orang kembar bersaudara itu.

"Maaf, aku sangat sibuk hari ini. Engkau hanya boleh mengajukan satu pertanyaan saja. Tidak boleh lebih." katanya. Kemudian Abu Nawas menghampiri orang itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara berbisik pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan segera mohon diri.

"Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan." kata Abu Nawas mantap kepada kawan-kawannya.

"Bagaimana kau bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan? Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu berkata benar atau yang selalu berkata bohong?" tanya salah seorang dari mereka.

"Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri." kata Abu Nawas.

Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan. "Tadi aku bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan yang mana yang menuju hutan yang indah?" Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan menjawab: Jalan se­belah kiri, karena ia tahu saudara Kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab: jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berkata benar.

oo000oo
Share:

NASEHAT MBAH MOEN BUAT KITA SEMUA

Translate

KUMPULAN KITAB TERJEMAHAN


Foto Kepala MA Nurussyahid Kertajati dengan Gus Sauqi Putra Abah KH. Ma'ruf Amin (Wakil Presiden RI)

KEPALA MA BERSAMA PARA PURNAWIRAWAN TNI PADA ACARA MUNAJAT RAJAB

SANTRI MA NURUSSYAHID KERTAJATI PADA ACARA MUNAJAT RAJAB 1440 H

KUNJUNGAN SULTAN SEPUH KE YAYASAN